Page 35 - MENELADANI KARAKTER DALAM CERPEN
P. 35

Pagi  cerah  di  hari  Minggu.  Fatimah  dan  Farhan  sudah  berada  di  toko  sepatu,  sibuk
                   mencoba berbagai model sepatu yang akan Farhan pilih. Seorang pria tiba-tiba mendekati
                   Fatimah dan Farhan.
                      “Eh, kalian anaknya Damayanti, kan?”
                      Fatimah  dan  Farhan  terdiam,  saling  menatap.  Siapa  pria  ini?  Kenapa  dia  mengenal
                   Ibunya, pun dengan mereka?”
                      “Iya, Pak. Ada apa, ya?” tanya Fatimah sopan.
                      Pria itu tertawa pelan, seperti tak menyangka.
                      “Kamu yang sering qiro’ di acara pengajian itu, kan?” tanyanya lagi.
                      Fatimah mengangguk.
                      “Ya... Bapak harap kamu tidak seperti ibumu, Nak. Ya, benar. Seandainya Suheri, bapakmu
                   masih hidup. Mungkin Ibumu tidak akan menjadi wanita malam seperti sekarang” Pria itu
                   terdiam sebentar, “Eh, kalian mau beli sepatu?”
                      Fatimah tersenyum kecut mengiyakan.
                      “Ha... biar Bapak yang bayar, eh sekalian kamu juga pilih sepatu sana. Ya... itung-itung
                   sebagai balas budi teman bapakmu dulu aku, Nak” ujar pria itu.
                      Fatimah dan Farhan tersenyum. “Terimakasih, Pak”
                      Teman lama Bapak mereka tersenyum, “Kasihan sekali anak-anakmu, Suheri Dalam batin
                   pria itu menyayangkan takdir dua yatim itu.
                      ***
                      Fatimah dan Farhan pulang ke rumah dengan rasa bahagia, apalagi bertemu dengan Om
                   Deni, teman lama sang Bapak yang tadi selain membelikan sepatu juga mentraktir makan
                   bakso bersama.
                      “Bu... Ibu...” panggil kedua anak itu.
                      Sang Ibu yang sedang menonton TV menjawab malas panggilan kedua anaknya.
                      “Apa?”
                      Fatimah  dan  Farhan  mendekati  Ibunya  sambil  menunjukkan  beberapa  kantong
                   belanjaan.
                      “Ibu,  tadi  aku habis  dibelikan  sepatu,  terus  ditraktir  bakso  sama  Om  Deni  temennya
                   Bapak. Mbak Fatimah juga ditraktir. Ya kan, Mbak?” ucap Farhan antusias.
                      Fatimah mengangguk, “Iya, Bu. Om Deni baik banget. Jadi keinget bapak dulu sering
                   ngajak kita jalan-jalan trus makan bakso. Ibu inget enggak?”
                      Damayanti terdiam mendengar celoteh anak-anaknya. Di balik hatinya, ia merasa sangat
                   kesepian selama ini, perasaaan bersalah kepada kedua anaknya ia sadari. Selama ini, sejak
                   suaminya meninggal, ia hanya melampiaskan keinginannya sendiri dan mengabaikan anak-
                   anaknya. Ia yang selama ini tidak peduli dengan bakat qiro' yang dimiliki Fatimah dan juga
                   Farhan yang butuh bimbingan orang tua.
                      Damayanti melalaikan kewajibannya. Semua ini harus ia perbaiki.
                      Tanpa mengucap sepatah kata pun, Damayanti masuk ke kamarnya.
                      Fatimah dan Farhan saling pandang. “Apa ibu marah ya, Mbak?” tanya Farhan.
                      Fatimah hanya menggeleng sambil mengangkat bahu.
                                                      ***
                      Keesokan  harinya  saat  Fatimah  dan  Farhan  pulang  dari  sekolah.  Mereka  mendapati
                   rumahnya sepi. Ibunya tidak ada di rumah.
                      Farhan mendengus kesal. “Tuh kan, Ibu pergi lagi. Pasti ke tempat itu lagi ketemu sama...”
                   gerutu Farhan.



                                                                                          25
                  Meneladani Karakter dalam Cerita Pendek
   30   31   32   33   34   35   36   37   38   39   40