Page 14 - Arah Baru Kebijakan Penegakan Hukum Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
P. 14

ICEL – Indonesia Center for Environmental Law




            diulas  dalam  kedua  tulisan  tersebut  dapat  menjadi  pemantik  diskursus  untuk
            mengevaluasi pengaturan pidana dalam UU No.5/1990.

            Tulisan kemudian dilanjutkan dengan pemaparan Adrianus Eryan dan Antonius Aditantyo
            Nugroho mengenai tanggung jawab pemulihan dampak kejahatan konservasi. Tampak
            jelas bahwa kejahatan konservasi sumber daya alam hayati, baik terhadap tumbuhan
            dan satwa liar dilindungi maupun terhadap kawasan, menimbulkan dampak kerugian
            yang  kompleks  dan  tidak  mudah  untuk  dipulihkan.  Terlebih,  ketentuan  pemulihan
            dampak  kejahatan  konservasi  masih  terbatas,  belum  membebankan  pemulihan  pada
            pelaku,  dan  bersifat  sektoral.  Pembentukan  Badan  Pengelola  Lingkungan  Hidup  oleh
            Pemerintah,  walau  masih  perlu  diuji  pelaksanaannya,  diharapkan  menjadi  alternatif
            langkah  pemulihan  yang  mampu  mencapai  tujuan  konservasi  itu  sendiri  secara  lebih
            terkoordinir.

            Setelah berbicara mengenai pengaturan pidana dan tanggung jawab pemulihan pada
            tataran gagasan, dua tulisan selanjutnya akan berbicara mengenai penegakan hukum
            konservasi yang terjadi di lapangan. Rika Fajrini membahas studi kasus pada masyarakat
            Sekoci di Taman Nasional Gunung Leuser, dimana perubahan pendekatan penegakan
            hukum secara represif menjadi pendekatan fasilitatif melalui Kemitraan Konservasi dapat
            menyelesaikan konflik antara masyarakat dan pengelola taman nasional. Sementara Nor
            Qomariah menerangkan bahwa ditengah tidak efektifnya penegakan hukum positif untuk
            melindungi  kawasan,  terdapat  kearifan  lokal-pranata  hukum  adat  yang  dimiliki
            masyarakat  hukum  adat  Serampas  untuk  menjaga  wilayah  hutan  adat  mereka  yang
            terletak  pada  kawasan  Taman  Nasional  Kerinci  Seblat.  Dari  pembelajaran  atas
            pelaksanaan kemitraan konservasi dan penegakan hukum adat inilah kemudian lahir ide
            pembaharuan hukum konservasi yang menarik jika dapat dielaborasi lebih lanjut dalam
            tataran undang-undang.
            Berbagai  gagasan  dan  pengalaman  diatas  semakin  menegaskan  kebutuhan
            pembaharuan penegakan hukum konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya,
            khususnya UU No.5/1990. Rangkaian tulisan ditutup oleh Nuruliawati dengan refleksi
            perjalanan advokasi perubahan UU No.5/1990 yang giat diperjuangkan oleh Kelompok
            Kerja  Kebijakan  Konservasi  (“Pokja  Konservasi”)  sejak  tahun  2015.  Meredupnya  isu
            konservasi  keanekaragaman  hayati  di  lingkungan  Pemerintah  dan  Legislatif  tentunya
            membuat Pokja Konservasi harus mengatur ulang strategi yang efektif melalui pendekatan
            perubahan  perilaku  dan  pemetaan  aktor.  Dengan  demikian,  arah  baru  kebijakan
            penegakan  hukum  konservasi  juga  berarti  pembaharuan  pendekatan  advokasi  Pokja
            Konservasi, yaitu agar pesan dan urgensi yang ada dapat tersampaikan kepada para
            pembuat kebijakan dengan baik.

            Adapun para penulis dalam buku ini terdiri dari pegiat hukum lingkungan, pegiat hukum
            pidana, dan pegiat konservasi sendiri. Sebagai catatan, penting untuk diketahui bahwa
            tulisan  yang  disusun  dalam  buku  ini  mencerminkan  buah  pemikiran  dari  tiap  penulis




            xii |
   9   10   11   12   13   14   15   16   17   18   19