Page 110 - Tere Liye - Bumi
P. 110

TereLiye “Bumi”   107











                             AKIKU gemetar karena rasa marah yang  menyergap. Suara
                  mengeong si Putih semakin lemah. Matanya menatapku me­minta
                  pertolongan. Sementara si Hitam yang mengunci tubuh­nya dari atas,
                  entah dia sebenarnya makhluk apa, tubuhnya mem­besar sedemikian

                  rupa hingga empat kali lipat dalam hitung­an detik. Ekornya bergerak
                  garang. Kupingnya memanjang. Bulu tebalnya berdiri  seperti ribuan
                  jarum tipis. Mata bundar yang dulu aku suka berubah menjadi kuning
                  pekat. Taringnya  memanjang. Suara geramannya membuat kamarku
                  seperti mati rasa. Si Hitam berubah sebesar serigala.

                         ”Konsentrasi, Nak!” sosok tinggi  kurus di dalam cermin
                  mem­bentakku. ”Konsentrasi pada buku tebalnya. Tidak yang lain.”


                         Aku menoleh ke arah cermin, menoleh lagi ke si Putih di atas kasur.
                  Bagaimana aku bisa konsentrasi dalam situasi seperti ini? Bagaimana aku
                  bisa konsentrasi ke novel tebal di atas kursi?

                         ”Kamu siap atau belum, hitungannya akan kita mulai.” Suara sosok
                  tinggi kurus itu terdengar mengancam.


                         Aku menggigit bibir. Aku tidak punya  banyak pilihan. Waktu­ku
                  amat sempit untuk berhitung  atas situasi yang kuhadapi. Sandal jepit
                  yang kupegang bahkan boleh jadi tidak bisa me­lawan si Hitam yang
                  berubah menjadi sangat mengerikan. Si Putih dalam bahaya. Suara
                  mengeongnya begitu menyedihkan.

                         Aku menelan ludah kecut. Bagaimana mungkin dia dikhianati
                  teman sepermainannya sejak ditemukan dalam kotak berwarna pink,
                  beralas kain beludru, dan bertutup  kain sutra? Atau tidak? Karena

                  memang kucing itu tidak pernah hadir kasatmata di rumah kami? Si
                  Hitam tidak pernah menjadi teman si Putih?

                         ”Satu...” Sosok tinggi mengembuskan napas, mulai meng­hitung.
                  Kali ini bahkan uap dari napasnya seperti melewati cer­min kamarku,
                  mengambang.






                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   105   106   107   108   109   110   111   112   113   114   115