Page 113 - Tere Liye - Bumi
P. 113

TereLiye “Bumi”   110




                  menggelegar. Dalam hati aku berseru, tidak ada yang boleh menyakiti si

                  Putih.

                         Sepersekian detik sebelum kaki si Hitam mencakar si Putih yang
                  tidak berdaya, lima jemari tangan kananku bergerak cepat, mendesis.
                  ”Menghilanglah!”


                         Geraman si Hitam lenyap bagai suara televisi dipadamkan. Juga
                  bulunya yang berdiri, ekornya yang tegak, taringnya yang panjang, dan
                  matanya yang kuning lenyap bagai kabut terkena matahari terik. Tidak
                  berbekas apa pun di atas kasur.

                         Langit­langit kamarku lengang sejenak. Bahkan si Putih yang
                  terbaring di kasur  tidak mengeong. Dia meringkuk gemetar. Tubuhnya
                  terlalu lemah. Mungkin takut hingga batas terakhir. Si Putih menatapku.
                  Mata bundarnya terlihat buram, penuh sorot berterima kasih.


                         Sosok tinggi kurus  itu juga menatapku lamat­lamat, seperti habis
                  menyaksikan pertunjukan yang tidak dia kira. Aku ter­sengal.  Napasku
                  menderu. Tanpa memedulikan sosok tinggi ku­rus itu, aku meloncat ke
                  kasurku, menarik si Putih, meng­gendongnya erat­erat, melindunginya
                  dari kemungkinan  apa saja. ”Semua akan baik­baik saja, Put,” bisikku
                  lirih sambil terus me­meluk kucing kesayanganku itu.

                         ”Kamu? Ini menakjubkan, Gadis Kecil.” Sosok tinggi kurus masih
                  menatapku, suaranya kembali datar. ”Ini sama sekali di luar dugaan­ku.”


                         Aku tidak mendengarkan dengan baik sosok tinggi kurus itu. Aku
                  merapat ke dinding, menatap cermin dengan galak, jemari tangan
                  kananku mengacung ke cermin.


                         ”Bagaimana kamu melakukannya?” sosok tinggi kurus itu
                  ber­tanya.

                         Aku menggeleng, berusaha mengendalikan napas. Aku sung­guh
                  tidak tahu bagaimana aku bisa menghilangkan monster kucing yang
                  memiting si Putih. Kejadiannya terlalu cepat. Aku panik. ”Aku tidak tahu,”
                  aku menggeleng sekali lagi. ”Pergi! Kamu pergi jauh­jauh dari sini!” Lima
                  jemariku mengarah ke cermin, mengancam.








                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   108   109   110   111   112   113   114   115   116   117   118