Page 177 - Tere Liye - Bumi
P. 177

TereLiye “Bumi”   174











                             AMAR itu lengang  sejenak. Isinya kosong karena lama tidak
                  ditempati. Hanya ada ranjang besar di dinding, satu sofa melayang, dan
                  satu lemari berbentuk lebih mirip botol air mi­neral raksasa. Ali sempat
                  melihat isi dalam lemari, mengeluarkan beberapa pakaian gelap yang

                  lengket di tangan. Aku dan Seli menggeleng, lebih baik tetap mengenakan
                  seragam sekolah kotor dibanding pakaian lengket ini.

                         Ali sebaliknya. Dia mencoba memakai salah satu pakaian
                  ber­bentuk jaket yang kebesaran. Saat dikenakan, pakaian lengket itu
                  seolah bisa berpikir sendiri, mengecil dengan cepat, lantas me­nempel
                  sempurna ke seluruh tubuh. ”Wow!” Ali ber­seru ter­pesona—bahkan dia
                  bergaya di depan cermin, menggerakkan tangan­n­ya yang tertutup jaket.
                  ”Lentur, ringan, dan lembut di badan.” Ali nyengir lebar, seperti bintang
                  iklan detergen di tele­visi.


                         Melihat Ali dengan pakaian aneh itu, setidaknya aku tahu jenis
                  pakaian yang dikenakan Tamus dan  delapan orang di aula tadi. Aku
                  menghela napas, beranjak duduk sem­barang di lantai. Aku tidak mau
                  duduk di sofa yang bisa me­layang, atau ranjang yang bisa naik­turun.
                  Setidaknya lantai kayu yang kududuki terlihat normal. Seli ikut duduk di
                  samping­ku. Ali, lagi­lagi sebaliknya, si genius itu sudah meloncat santai
                  ke atas sofa melayang. Dia sudah terampil, tidak ter­gelincir.

                         ”Apa yang kita lakukan sekarang, Ra?” Seli berbisik.


                         ”Aku tidak tahu,” aku menjawab pendek.

                         Seli menghela napas, bergumam, ”Ini benar­benar ganjil.
                  Bagai­mana mungkin sekarang sudah malam? Bukankah baru satu­dua

                  jam lalu kita dari aula sekolah?”

                         ”Entahlah, Sel. Aku juga bingung.”

                         ”Kita tidak bisa menginap di bangunan aneh ini, Ra. Kalau kita
                  terlalu lama di kota ini, kita jelas terlambat pulang ke ru­mah. Orangtua







                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   172   173   174   175   176   177   178   179   180   181   182