Page 200 - Tere Liye - Bumi
P. 200

TereLiye “Bumi”   197




                         ”Anak­anak...” Ilo masih berdiri, tidak menjawab pertanyaanku. Dia

                  menatap kami bergantian dengan tatapan serius, sementara di luar
                  kapsul melakukan manuver, melengkung, berbelok arah dengan  mulus.
                  ”Sebenarnya, dari mana kalian berasal?”

                         Aku mendongak, menatap wajah Ilo.


                         ”Dia bertanya apa?” Ali berbisik.

                         Aku menahan napas.


                         ”Kalian tahu, istriku mungkin benar ketika berkali­kali bilang aku
                  terlalu banyak berimajinasi karena pekerjaan ini. Te­tapi ada banyak hal
                  yang kita imajinasikan nyata. Seperti pakai­an, sejauh apa pun imajinasi
                  kita, itu nyata, menjadi sesuatu yang bisa disentuh. Sejak tadi malam aku
                  memikitkan situasi ini. Buku aneh itu, dengan huruf­huruf yang aneh.
                  Pakaian yang kalian kenakan saat ditemukan di kamar anak kami.
                  Bukankah ada tulisan dengan huruf yang sama? Terlalu banyak hal yang
                  tidak bisa dijelaskan. Kalian tidak tersesat dari tempat biasa. Dari mana
                  kalian berasal?”

                         Wajah Ilo terlihat serius sekali, meski ekspresi wajahnya yang baik
                  tidak hilang.


                         Aku berhitung, apakah akan menjawab atau tidak.


                         Aku menoleh ke arah Seli dan Ali—yang tidak mengerti apa yang
                  kami bicarakan.

                         Aku menggigit bibir. Baiklah, meski ini boleh jadi tidak masuk akal
                  dan akan membuat Ilo tertawa, aku akan menjawab. Suaraku bergetar.
                  ”Kami juga tidak tahu. Mungkin saja kami berasal dari dunia yang
                  berbeda, dunia lain.”


                         Mengatakan kalimat itu saja sudah terasa aneh, ”dunia lain”,
                  apalagi berharap reaksi orang saat mendengarnya. Tapi Ilo tidak tertawa,
                  mengernyit, atau reaksi sejenisnya. Dia hanya terdiam, ikut menahan
                  napas, berusaha mencerna kalimatku.

                         ”Juga benda raksasa yang menghantam dua tiang rumah itu?”







                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   195   196   197   198   199   200   201   202   203   204   205