Page 203 - Tere Liye - Bumi
P. 203

TereLiye “Bumi”   200











                             APSUL kereta itu berhenti lima menit kemudian. Ilo ber­jalan di
                  depan, turun.


                         Entah  berada di  mana kami sekarang, tapi hamparan rumput
                  terpangkas rapi menyambut kami, tampak hijau seluas lapangan sepak
                  bola. Jika itu belum cukup, di sisi kiri dan kanan lapangan terlihat air
                  terjun setinggi pohon kelapa, debum air menimpa bebatuan seperti
                  bernyanyi, sungai jernih mengalir, kelokannya hilang di belakang sebuah
                  gedung besar. Saking besarnya gedung itu, jika dipotret, aku tidak yakin
                  lensa kamera bisa menangkap seluruh bagiannya jika diambil dari jarak
                  jauh sekalipun. Aku mendongak menatap langit. Kami sepertinya masih
                  berada di dalam tanah, karena meskipun langit terlihat biru, itu tidak asli,
                  tidak ada matahari di atas sana.


                         ”Ini Perpustakaan Sentral. Tempat semua catatan  dan buku
                  disimpan, semua ilmu dikumpulkan. Tidak ada tempat lebih baik
                  dibanding ini jika kita membutuhkan jawaban,” Ilo menjelas­kan sebelum
                  ditanya. Dia melangkah lebih dulu, berjalan menuju gedung tinggi itu.

                         Kami membutuhkan dua menit melintasi hamparan rumput hijau,
                  lalu tiba di pintu gedung.


                         Ruangan depan gedung itu dipenuhi meja­meja panjang dan
                  bangku. Lantainya terbuat dari pualam mewah. Belasan lampu kristal
                  tergantung di langit­langit ruangan, sama seperti interior Stasiun Sentral.
                  Bedanya, rak buku setinggi gedung tiga lantai memenuhi dinding
                  ruangan. Aku menelan  ludah menatap begitu banyak buku di dinding.
                  Beberapa orang terlihat membaca di meja­meja panjang. Beberapa belalai
                  bergerak merambat di rak­rak itu, sepertinya itu alat mencari judul buku,
                  berhenti meng­ambil buku, kemudian bergerak lagi.


                         Salah satu petugas perpustakaan menyapa ramah Ilo—seorang ibu
                  separuh baya yang mengenakan jaket gelap. Mereka  saling kenal,
                  ber­bicara serius sebentar. Ibu itu memeriksa se­jenak buku besar di atas
                  meja, lantas mengangguk, meminta kami berjalan di belakangnya.





                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   198   199   200   201   202   203   204   205   206   207   208