Page 43 - Bank Soal UP PPG Daljab 2019/2020
P. 43

Kisi-Kisi Soal UP_2019_Encar_PPGPAI_LPTK_UINSGD

            Contohnya, perahu Nabi Nuh as yang dibuat atas petunjuk Allah sehingga mampu bertahan dalam situasi
            ombak  dan  gelombang  yang  demikian  dahsyat,  tidak  terbakarnya  Nabi  Ibrahim  as  dalam  kobaran api
            yang sangat besar; tongkat Nabi Musa as yang beralih wujud menjadi ular, penyembuhan yang dilakukan
            oleh Nabi ‘Isa almasih atas izin Allah, dan lain-lain.

            Kesemuanya bersifat material indiriawi, sekaligus terbatas pada lokasi tempat Nabi
            tersebut berada, dan berakhir dengan wafatnya masing-masing nabi. Ini berbeda dengan mukjizat
            Nabi Muhammad saw. yang sifatnya bukan indirawi atau meterial, namun dapat dipahami oleh akal lagi
            dapat dibuktikan sepanjang masa . Karena sifatnya yang demikian, ia tidak dibatasi oleh suatu tempat atau
            masa  tertentu.  Mukjizat  Al-Qur’an  dapat  dijangkau  oleh  setiap  orang  yang  mengunakan  akalnya  di
            manapun dan kapan pun.

            Perbedaan  ini  disebabkan  oleh  dua  hal  pokok.  Pertama,  para  nabi  sebelum  Nabi  Muhammad  saw,
            ditugaskan untuk masyarakat dan masa tertentu. Karena itu, mukjizat mereka hanya berlaku untuk masa
            dan masyarakat tersebut, tidak untuk sesudah mereka. Ini berbeda dengan Nabi Muhammad Saw. yang
            diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman, sehingga bukti kebenaran ajarannya harus selalu
            siap dipaparkan pada setiap orang yang ragu di manapun dan kapanpun mereka berada

             Jika  demikian  halnya,  tentu  mukjizat  tersebut  tidak  mungkin  bersifat  material,  karena  kematerialan
            membatasi  ruang  dan  waktunya.  Kedua,     manusia  mengalami  perkembangan  dalam  pemikirannya.
            Sedangkan fungsi mukjizat sendiri  adalah sebagai bukti kebenaran para nabi. Keluarbiasaan yang tampak
            atau terjadi melalui mereka itu diibaratkan sebagai ucapan Tuhan: “Apa yang dinyatakan sang nabi adalah
            benar. Dia adalah utusan-Ku, dan buktinya adalah Aku melakukan mukjizat itu.”

            Perbedaan Penafsiran ayat-ayat mukjizat yang kontroversial di antara para Mufassir telah menjadi kajian
            yang menarik. Hal ini berawal dari prinsip penafsiran kesembilan Sir Ahmad Khan (1817-1898) terhadap
            Al-Qur’an. Dikatakan bahwa tidak ada sesuatupun dalam Al- Qur’an sebagai firman Tuhan  (saying of
            God)  yang  bertentangan  dengan  ciptaan  Tuhan  (creation  of  God).  Karena  Al-Qur’an  sebagai  firman
            Tuhan  tidak  mungkin  menyalahi  hokum  alam  sebagai  ciptaan-Nya.  Keselarasan  keduanya  bersifat
            esensial. Jika firman Tuhan bertentangan dengan ciptaan-Nya, maka Al-Qur’an tidak layak disebut firman
            Tuhan  yang  suci.  Prinsip  penafsiran  Ahmad  Khan  ini  menghantarkannya  pada  satu  kesimpulan
            bahwa tidak satupun dalam Al-Qur’an yang bertentangan dengan hukum alam dan akal. Dengan
            prinsip ini, Ahmad Khan telah menolak hal-hal yang bersifat supranatural dalam Al-Qur’an seperti
            penjelasan mengenai mukjizat para nabi tidak terkecuali mukjizat Nabi Muhammad saw.

            Pada  akhirnya,  Sir  Ahmad  Khan  mengadopsi  pendapat  Ibnu  Rushd  yang  mengatakan  bahwa  antara
            kebenaran  menurut  akal  (al-m’aqul) tidak  boleh  bertentangan  dengan  kebenaran menurut  wahyu  (al-
            manqul). Jika keduanya terjadi kontradiksi, maka wahyu harus dipahami secara metaforis.

            Senada dengan pemahaman Sir Ahmad Khan adalah Rashid Ridha (1865-1935), mengatakan bahwa Al-
            Qur’an  tidak  akan  pernah  bertentangan  dengan  akal  sehingga  dengan  tegas  ia  mengingkari  semua
            mukjizat  Nabi  Muhammad  saw  kecuali  Al-Qur’an.  Ia  menolak  hadis-hadis  sekalipun  sahih  yang
            menjelaskan tentang mukjizat Nabi Muhammad saw selain Al-Qur’an.

            Penolakan  itu  disebabkan  karena  mukjizat  selain  Al-Qur’an  tidak  sesuai  dengan akal  dan  kalaupun  ia
            menerima hadis yang menjelaskan tentang mukjizat, maka ia akan menafsirkan melalui takwil sehingga
            bisa selaras dengan akal.

            Sebetulnya,  genetik  pemikiran  Rashid  Ridha  (1865-1935)  tentang  mukjizat  berakar  pada  pemikiran
            gurunya, Muhammad ‘Abduh (1849-1905), yaitu memberikan keleluasaan menggunakan akal (al-ra’yu)
            dalam menafsirkan teks (al-wahyi).  Muhammad Abduh  mengemukakan bahwa dalam menyikapi ayat-
            ayat  yang  mutashabih,  ulama  tafsir  terbagi  menjadi  dua  kelompok;  pertama  adalah  mereka  yang
            menafsirkannya  dengan  cara  menakwilkannya  sehingga  selaras  dengan  akal  (al-ma’qul).  Sementara
            kelompok  kedua  adalah  para  ulama  yang  mendiamkannya  (al-mauquf).  Muhammad  ‘Abduh,  lebih

                                                                                                     Page 39 of 107
   38   39   40   41   42   43   44   45   46   47   48