Page 46 - Bank Soal UP PPG Daljab 2019/2020
P. 46
Kisi-Kisi Soal UP_2019_Encar_PPGPAI_LPTK_UINSGD
Paradigma Saintis dan Filosof Tentang Mukjizat
Mukjizat juga mendapatkan perhatian dan kajian mendalam bagi para Saintis dan Filosof, Salah Satunya
yaitu St. Thomas Aquinas (1226-1274) yang mengatakan bahwa Mukjizat merupakan suatu kejadian
teratur yang bersifat supranatural dan disebabkan oleh faktor-faktor ilahi. Menurut Aquinas sendiri, di
alam semesta ada dua bentuk keteraturan yang berjenjang dan bertingkat.
Pertama, keteraturan alami yang terdapat pada benda-benda dimana berasal dari kehendak dan keinginan
Tuhan dan bukan dari kemestian esensi dan alami dari benda-benda tersebut. Namun, Tuhan juga
meletakkan keteraturan yang bersifat Kausalitas pada semua benda di alam, benda-benda tersebut tersebut
berjalan di atas keteraturan esensial dan alaminya masing-masing.
Kedua, keteraturan mutlak Tuhan, dimana berasal dari ilmu dan kehendak Tuhan. Oleh karena itu,
walaupun realitas mukjizat “bertentangan” dengan keteraturan dan tatanan alam tapi tak bertolak
belakang dan bahkan sesuai dengan keteraturan mutlak dan kehendak Tuhan.
David Hume (1711-1776) mempunyai pendapat lain mengenai Mukjizat. Menurutnya, dalam makalah
yang sangat terkenal bertema “Darbore-ye mukjizat (Tentang Mukjizat)”. Pada bagian pertama dalam
makalah tersebut David Hume berusaha menunjukkan bahwa kejadian mukjizat dikarenakan bertolak
belakang dengan hukum alam maka menjadi sangat kecil kemungkinannya dapat ditetapkan dengan
bantuan bukti sejarah yang walaupun bukti itu sangat kuat dan otentik, tapi akan menjadi mungkin bila
dijelaskan dengan dalil-dalil rasional tentang keadaan dan proses yang paling sempurna dari kejadiannya.
Bagian kedua dari makalah tersebut ia berargumentasi bahwa, dengan asumsi mukjizat dapat dibuktikan,
walaupun terdapat bukti-bukti sejarah yang otentik dimana digunakan oleh semua orang beragama untuk
menyampaikan kejadian mukjizat, tetapi tak satupun yang dapat dijadikan sandaran dan karena itulah kita
tidak memiliki bukti-bukti sejarah yang otentik dan dalil yang kuat atas kejadian mukjizat. Disini jelas
bahwa David Hume menolak adanya mukjizat, ada beberapa Argumen David Hume dalam menolak
adanya kemungkinan pembuktian mukjizat, berpijak pada dasar-dasar di bawah ini:
1. Eksperimen ilmiah merupakan satu-satunya petunjuk dan tolok ukur kita dalam berargumen tentang
masalah-masalah yang terjadi dan sebagai sumber otentik untuk penyelesaian segala perbedaan.
2. Orang yang berakal niscaya menyesuaikan kepercayaan dan keyakinannya dengan dalil dan argumen,
oleh karena itu, semakin jauh subyek permasalahan (kejadian) dengan realitas keseharian kita, maka
untuk sampai pada keyakinan kuat atas sesuatu yang terjadi mesti dibutuhkan dalil-dalil yang semakin
kuat pula. Kebutuhan akan dalil dan bukti yang kuat akan semakin urgen ketika diperhadapkan
dengan subyek masalah yang ajaib, asing, aneh dan bahkan bertentangan dengan hukum-hukum alam,
karena dalam hal ini, kita berhadapan dengan dua realitas yang saling bertolak belakang, maka kita
terpaksa membandingkan dua realitas tersebut dan kemudian memilih salah satu realitas tersebut yang
mengandung tingkat persentase pertentangan yang rendah.
3. Keyakinan kita kepada bukti, dalil, laporan dan berita berpijak pada pendekatan empirisitas. Alasan
kepercayaan kita kepada setiap pembawa berita dan para saksi sama sekali tidak berangkat dari
hubungan kemestian dan keniscayaan antara bukti-bukti dan realitas peristiwa yang diketahui saling
mendahului satu sama lain.
4. Pertentangan mukjizat dengan kenyataan hakiki alam dan alur panjang pengalaman kehidupan
manusia serta dalil-dalil empiris merupakan alasan yang terkuat atas kerumitan pembuktiannya.
Berdasarkan pokok-pokok tersebut di atas, Hume berkata, “Jika ada bukti dan dalil yang kuat atas
kejadian mukjizat, maka kita bisa namakan dalil tersebut sebagai dalil versus dalil atau bukti lawan bukti,
karena dari satu sisi bukti dan dalil tersebut sebegitu kuat dan otentik sehingga ketika obyek berita
dinafikan maka dalil tersebut secara esensial merupakan dalil yang sempurna.
Ahmad ibn Ishaq al-Ruwandi (w. akhir abad III H) seorang Filsuf berkebangsaan Yahudi mengatakan
Mukjizat hanya semacam cerita khayal belaka yang hanya menyesatkan manusia. Siapa yang dapat
menerima batu dapat bertasbih dan serigala dapat berbicara. Kalau sekiranya Allah swt membantu umat
Islam dalam perang Badar mengapa dalam Perang Uhud tidak? al-Ruwadi juga mengingkari mukjizat Al-
Qur’an karena Al-Qur’an bukan persoalan yang luar biasa (Khariq al-‘adah). Orang non-Arab jelas heran
dengan balaghah Al-Qur’an, karena mereka tidak kenal dan mengerti bahasa Arab dan Muhammad
Page 42 of 107