Page 43 - Stabilitas Edisi 184 Tahun 2022
P. 43
aat ini, tidak ada yang lebih Hal itu tentu merupakan
sengit dari persaingan di industri perkembangan bagus. Sebab meski
keuangan. Pertempuran terjadi aturan yang keluar hampir sewindu
Sdi setiap liga dan di setiap lini. lalu itu tidak memperhitungkan krisis
Namun yang pasti, yang paling tertekan pandemi sekarang ini, pelaku masih
adalah mereka yang bermodal cekak. bisa memenuhi, setidaknya berupaya
Di industri perbankan, Bank Perkreditan memenuhinya.
Rakyat, lembaga yang kekuatan Deputi Komisioner Pengawas
finasialnya semenjana merasakan betul Perbankan I OJK Teguh Supangkat
penderitaan itu. mengakui Peraturan OJK Nomor 5/
Era digital yang dibarengi dengan POJK.03/2015 memicu terjadinya merger
krisis ekonomi karena pandemi ini, di industri BPR tanpa perlu diminta.
memang menjadi ancaman bagi Bahkan, mereka melakukan transisi guna
kehidupan BPR. Lembaga pengawas jasa memenuhi modal inti Rp1 miliar, Rp3
keuangan tentu tidak mau ada korban miliar, hingga Rp6 miliar sampai 2024.
berjatuhan, meski keinginan dirasa Guna mendorong perkembangan
berat ketika harus berhadapan dengan itu, OJK pun mengeluarkan aturan
masalah bawaan’ BPR selama ini yaitu tambahan yang mengelompokkan
permodalan dan kualitas modal manusia. BPR sesuai wilayahnya. Setidaknya
Sejatinya, sejak 2015, Otoritas ada tiga klaster dalam aturan tersebut
Jasa Keuangan sudah mendesak bank- yang mana masing-masing memiliki
bank itu untuk lebih memperhatikan persyaratan modal berbeda ketika akan
modalnya. Aturan tentang Kewajiban mendirikannya. Teguh Supangkat
Penyediaan Modal Minimum dan Berdasarkan POJK Nomor 62/
Pemenuhan Modal Inti Minimum BPR POJK.03/2020 tentang Bank Perkreditan
mengharuskan bank memiliki modal Rakyat. Adapun modal disetor pendirian
Rp3 miliar mulai 2021 dan Rp6 miliar di BPR ditetapkan paling sedikit Rp100 Peraturan
2024. miliar untuk BPR di zona 1 yang meliputi OJk Nomor 5/
Dalam aturan itu pula, BPR Jawa dan Bali. Sebesar Rp50 miliar di POJk.03/2015
konvensional dan syariah akan zona 2 meliputi Sumatra, Kalimantan,
dimasukkan ke dalam kelompok kegiatan sebagian Sulawesi dan NTB, dan sebesar memicu terjadinya
jika memiliki modal inti paling sedikit Rp25 miliar di zona 3 meliputi sebagian merger di industri
Rp15 miliar, disebut BPRKU 1. Selain Sulawesi dan bagian timur Indonesia
itu kelompok lain yang punya modal lainnya. BPR tanpa perlu
antara Rp15 miliar sampai 50 miliar Melalui konsolidasi, diyakini BPR diminta. Bahkan,
dimasukkan ke dalam BPRKU 2. Di atas akan semakin kuat dan tata kelola bisa
itu, digolongkan ke dalam BPRKU 3. lebih baik terutama di saat bersaing mereka melakukan
Hingga September 2021 jumlah yang di tengah terjangan bank-bank digital. transisi guna
tergolong dalam BPRKU 1 sebanyak Wasit jasa keuangan mengakui industri
1.138 unit, atau telah berkurang 306 unit BPR termasuk BPRS cenderung kalah memenuhi modal inti
dari tahun 2015. Pada saat bersamaan, saing dari perusahaan pinjaman online Rp1 miliar, Rp3 miliar,
yang tergolong BPRKU 2 bertambah ilegal dan rentenir sebagai sumber
jumlahnya dari 158 unit pada 2015, pinjaman bagi masyarakat. Hal ini hingga Rp6 miliar
menjadi 272 unit. Adapun kelompok karena masalah kecepatan akses sampai 2024
terakhir mengalami kenaikan, yani dari keuangan. Padahal, risiko dari pinjaman
35 unit pada 2016, menjadi 71 unit. online ilegal dan rentenir terbilang besar.
Dari data terlihat bahwa pelaku
industri merespons ketentuan itu dengan Gandeng Fintech
melakukan konsolidasi. “Ini menunjukan Selain merger dengan sesamanya,
bahwa ketentuan kita direspons dengan BPR juga menggandeng perusahaan
baik,” kata Heru Kristiyana, Anggota keuangan berbasis teknologi atau fintech
Dewan Komisioner OJK. untuk memperkuat diri. Sinergi ini
www.stabilitas.id Edisi No.184 / Tahun 2022 43

