Page 19 - Landgrabbing, Bibliografi Beranotasi
P. 19

xviii  Dwi Wulan Pujiriyani, dkk


            lahan petani/masyarakat adat untuk perkebunan (khususnya kelapa
            sawit), pemberian  izin  pertambangan  dan  izin  kehutanan. Izin-
            izin tersebut terus diperpanjang dan diperbarui setelah Reformasi.
            Beberapa  peraturan  perundangan  Orde   Baru  dan  Reformasi
            juga  mempermudah    perampasan  tanah  tersebut. Perampasan
            tanah  menemukan    bentuk  baru  dengan  disusunnya  program
            pembangunan   ekonomi jangka   panjang yang disebut   sebagai
            “Masterplan  Percepatan  dan  Perluasan  Pembangunan  Ekonomi
            Indonesia” (MP3EI) yang merupakan program yang mengandaikan
            perampasan tanah global (global land grabbing).
                Dalam   perampasan   tanah  global tersebut, perusahaan-
            perusahaan  mencari lahan-lahan  baru  guna  investasi pangan  dan
            energi (biofuel). White, Borras, dan  Hall (2014) secara  spesiik
            mengkategorikan  perampasan  tanah  tersebut  sebagai corporate
            “land grabs”, yakni korporasi-korporasi yang dengan  dukungan
            pemerintah merampasi tanah-tanah masyarakat dalam skala besar.
            Korporasi-korporasi itu  telah  merampas  43–227 juta  hektar  tanah
            di Asia, Afrika, Amerika Latin dan negara-negara bekas Uni Soviet
            melalui transaksi atau yang diistilahkan dengan “land deals” (World
            Bank, 2010, Anseeuw et al. 2011, dan Oxfam, 2011, dalam White, Borras,
            dan  Hall, 2014). Korporasi-korporasi itu  merampas  tanah-tanah  di
            negara-negara di Afrika, karena di situ buruh murah melimpah. Tapi
            nyatanya produksi makanan itu bukan untuk memenuhi kebutuhan
            dalam negeri tetapi kebutuhan ekspor (Borras dan Franco, 2012).

                Dibalik  transaksi-transaksi tanah  berskala  luas  tersebut,
            pemerintah negara-negara itu menjanjikan pembangunan industri-
            industri berorientasi ekspor  dan  menyediakan  barang-barang
            dan  pendapatan  bagi penduduk  lokal. Tetapi riset  membuktikan
            bahwa industri-industri tersebut tak berkorelasi dengan penciptaan
            lapangan  kerja  dan  tak  menjamin  keberlanjutan  usaha  pertanian.
            Akumulasi modal dan  sistem  pertanian  sejenis  (monocrop) dalam
            industri berorientasi ekspor  tersebut  justru  menjauhkan  investasi
            pertanian  skala  besar  ini dari perekonomian  lokal. Dukungan
            pemerintah  pada  perusahaan-perusahaan  perkebunan  skala  besar
            tersebut  pada  akhirnya  justru  memarjinalkan  pertanian  skala  kecil
   14   15   16   17   18   19   20   21   22   23   24