Page 163 - Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat
P. 163
Nur Aini Setiawati
Dengan diadakannya reorganisasi agraria dan diber-
lakukannya Rijksblad Kasultanan no. 25 tahun 1926, sultan
telah memberikan tanah kepada penduduk dengan hak milik
pribadi (andarbeni). Penduduk memiliki hak atas tanah yang
lebih kuat dan memiliki kekuasaan penuh atas tanah yang
diberikan itu. Mereka dapat menjual, menyewakan kepada
orang lain, serta mewariskan tanah kepada ahli warisnya.
Meskipun penduduk memiliki status hukum tanah yang
jelas dan lebih kuat, hak pemilikan tanah diatur dalam
peraturan-peraturan kasultanan. Peraturan-peraturan itu
menyebabkan penduduk memiliki keterbatasan hak-hak atas
tanahnya. Keadaan ini menyebabkan terjadinya sengketa
tanah karena adanya penyimpangan dari pelaksanaan pera-
turan-peraturan yang ada.
Di Kota Yogyakarta, tanah menjadi masalah utama dan
dapat memberikan dasar bagi munculnya sengketa baik
karena aspek ekonomi maupun sosial. Bahkan, ketika terjadi
kemerosotan sumber-sumber penghasilan akibat keadaan
ekonomi yang semakin memburuk pada zaman malaise tahun
1930, tanah menjadi sumber utama yang dapat diperdagang-
kan sehingga mudah menjadi pemicu terjadinya sengketa.
Sengketa tanah muncul karena sudah tidak ada musya-
warah yang dapat ditempuh dalam penyelesaian masalah
tanah oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Pada umum-
nya, permasalahan tanah berkaitan dengan perbuatan
melawan peraturan yang berlangsung, berupa pendudukan
tanah tanpa hak, pembagian warisan yang tidak sesuai
dengan jumlah pewaris, dan jumlah warisan yang akan diba-
gikan, jual beli yang tidak diketahui pemilik tanah yang
144