Page 398 - Ayah - Andrea Hirata
P. 398

Ayah ~ 385


            lam diri Sabari, dan betapa besar dia melihat mendiang ayah-

            nya di dalam diri Zorro. Sabari rindu berbalas puisi dengan
            ayahnya. Namun, kini dia senang karena dapat pula berbalas
            puisi dengan anaknya.
                 Kebiasaan lama lainnya yang mereka ulangi adalah se-
            tiap Sabtu sore Sabari membonceng Amiru naik sepeda ke

            taman balai kota. Kebiasaan sederhana yang amat indah.
                 Persis kebiasaan Sabari dan mendiang ayahnya. Sabari
            dan Amiru  pantang diberi umpan. Sepatah kalimat puisi
            ayah, langsung disambar anaknya, begitu pun sebaliknya.
                 Jalan menanjak, Amiru ingin turun karena ayahnya ke-
            sulitan memboncengnya. Dia bukanlah anak kecil lagi.
                 “Jangan, Nak, jangan turun, Ayah sanggup.”
                 Sepeda  terseok-seok, tambah berat lantaran  melawan

            angin.
                 “Sudahlah, Ayah, aku turun saja.”
                 “Jangan, Boi, sebentar lagi.” Keringat Sabari bercucur-
            an, tetapi dia berhasil menaklukkan tanjakan. Sepeda melun-
            cur turun tanpa dikayuh. Amiru memeluk pinggang ayahnya.

            Sabari merasa seperti dipeluk awan. Dadanya mengembang,
            senyumnya berbunga-bunga. Sepeda melewati jembatan, Sa-
            bari memandangi permukaan sungai yang tenang.
                 Dalam diam, riakmu tertawan, katanya pelan.
                 Amiru tersenyum. Karena bahagia yang tak dapat kau sembu-
            nyikan, balas Amiru.
                 Sabari menyambung:
   393   394   395   396   397   398   399   400   401   402   403