Page 23 - Modul Sejarah Lokal Tokoh Perjuangan Lampung
P. 23
12
Interaksi antara manusia dengan lingkungan alam dan sosialnya membentuk tata
nilai yang kemudian dikristalisasi menjadi sistem norma bagi komunitasnya. Sistem
norma yang ditransformasikan dalam segala perilaku dengan berbagai atributnya
membentuk corak sosial budaya. Maka sejatinya itulah yang menjadi rujukan ideal bagi
masyarakat si empunya nilai. Demikian pula bagi ulun Lampung, nilai sosial budaya
yang dijunjung tinggi itu dijadikan pedoman hidup baik sebagai individu maupun
sebagai anggota masyarakat sekaligus. Namun dalam prakteknya, sistem nilai kerap
diwarnai tafsir yang bias dengan kepentingan pribadi, terlebih sekalipun terdapat
indikator, tapi tak memiliki standar pasti seperti apa penerapan yang dikatakan ideal
itu. Dalam keadaan demikianlah, pihak asing menemukan celah untuk menyusupkan
agendanya. Beberapa kasus yang akhirnya menjadi jalan pintas bagi terbangunnya
kekuasaan eksternal, baik itu Banten dan kemudian Belanda tanpa senjata terkait
dengan kondisi sosial budaya dan dipadu motif lainnya antara lain ialah pemahaman
dan penerapan konsep piil sebagai harga diri serta keterbukaan dan penerimaan
terhadap orang luar (Canne, 1862).
Pertama, sebagai gambaran bahwa keadaan ini telah terjadi jauh hari sebelum
kedatangan Belanda. Penerapan konsep piil sebagai harga diri untuk kepentingan
gengsi dan status sosial di tengah masyarakat telah mendorong petinggi-petinggi atau
kepala marga di Lampung untuk seba demi menyampaikan pengakuan atas supremasi
Sultan Banten, yang imbalannya mereka diakui kedudukannya sebagai pemimpin
kelompoknya dan diberi embel-embel gelar kebangsawanan dengan syarat mengirim
lada dalam jumlah tertentu, lalu kepala marga diberi piagam terukir di tembaga dan
beragam hadiah simbolik yang menaikkan privilege bagi pemiliknya (Canne, 1862).

