Page 28 - Modul Sejarah Lokal Tokoh Perjuangan Lampung
P. 28

17




                        Susunan penyimbang bertingkat mulai dari penyimbang suku, pekon/kampung, hingga
                        marga,  dengan  posisi  sebagai  tokoh  yang  dituakan  dalam  keluarga  besar.  Dalam

                        lembaga perwatin, para penyimbang memiliki kedudukan setara, keputusan diambil
                        melalui  musyawarah,  dan  hasilnya  mengikat  seluruh  anggota.  Dengan  demikian,

                        penyimbang berfungsi sebagai representasi adat sekaligus penghubung dalam sistem

                        pemerintahan tradisional Lampung melalui konsep prowatin (Irham, 2013).

                        b. Sistem Pemerintahan Di Lampung Masa Kolonialisasi Belanda


                               Ketika  Belanda  berhasil  menguasai  wilayah  Nusantara  pada  abad  ke-19,

                        struktur  pemerintahan  di  Lampung  ikut  mengalami  perubahan.  Sejak  tahun  1826,
                        sistem pemerintahan marga yang sebelumnya dijalankan secara adat mulai berada di

                        bawah kendali pemerintah kolonial Hindia Belanda. Marga tidak lagi berdiri mandiri,
                        melainkan  tunduk  kepada  kekuasaan  residen  (Bukri,  1997).  Meski  begitu,  Belanda

                        tidak  sepenuhnya  menghapus  sistem  adat.  Mereka  justru  mempertahankan  bentuk

                        pemerintahan marga, tetapi menempatkannya dalam kerangka birokrasi kolonial. Hal
                        ini semakin ditegaskan pada tahun 1873, ketika Belanda membagi wilayah Lampung

                        ke dalam enam Onder Afdeeling (kawedanaan). Kemudian pada tahun 1928, melalui
                        peraturan  yang  disebut  Inlandsche  Gemeente  Ordonantie  Buitengewesten  (IGOB),

                        marga  memperoleh  legitimasi  struktural  sebagai  unit  pemerintahan  terendah  dalam

                        sistem kolonial (Putri, 2017).

                        Belanda memandang Lampung sebagai wilayah yang sangat penting, terutama karena

                        hasil buminya. Tidak hanya lada, tetapi juga komoditas pertanian lain menjadi incaran.
                        Demi menjaga kontrol, pemerintah kolonial memperkuat birokrasi. Pada tahun 1901,

                        Belanda memperkenalkan Politik Etis, sebuah kebijakan yang katanya ditujukan untuk

                        meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui pendidikan, kesehatan, dan irigasi. Namun
                        dalam kenyataannya, program-program seperti transmigrasi dan industrialisasi tetap

                        menguntungkan  kolonial.  Indonesia,  termasuk  Lampung,  tetap  dijadikan  daerah

                        penghasil bahan mentah dan tidak banyak mengalami industrialisasi (Laely, 2018).
   23   24   25   26   27   28   29   30   31   32   33