Page 29 - Modul Sejarah Lokal Tokoh Perjuangan Lampung
P. 29
18
Dalam praktiknya, Belanda juga menjalankan sistem Desentralisasi 1903 yang
memberi ruang terbentuknya kesatuan hukum baru (local self government). Kesatuan
ini dikenal sebagai ressorten van locale raden atau swapraja lokal. Artinya,
pemerintahan lokal tetap diakui, tetapi harus tunduk kepada kekuasaan Gubernemen
Belanda. Di Lampung, hierarki pemerintahan diatur secara berlapis. Pada tingkat atas
ada pejabat setingkat gubernur, yang disebut Rangga, Kerangga, atau Tumenggung.
Wilayahnya disebut Ketemenggungan. Di bawahnya terdapat Pesirah Marga, yakni
kepala marga. Seorang pesirah yang berjasa bisa diberi gelar Adipati atau Depati.
Sementara itu, dalam lingkup desa, pemimpin adat disebut Kerio atau Proatin. Jika di
desa tersebut terdapat pesirah, maka kepala desa disebut Pembarap. Jabatan ini lebih
tinggi dari kerio karena sekaligus menjadi wakil pesirah. Di tingkat paling bawah,
kampung dipimpin oleh seorang Penggawa (Putri, 2017).
Sistem ini diatur melalui berbagai undang-undang kolonial yang diamandemen
beberapa kali (1929, 1935, 1936, 1938). Dengan sistem itu, Belanda menempatkan
kekuasaan tertinggi di tangan Gubernur Jenderal, didampingi Dewan Hindia (Raad van
Nederlandsch-Indie) dan Dewan Rakyat (Volksraad). Lampung, sebagai bagian dari
Hindia Belanda, dibedakan menjadi dua wilayah:
1. Wilayah Gubernemen, langsung diperintah pejabat Belanda.
2. Wilayah Swapraja (Zelfs Bestuurende Landschappen), tetap diperintah oleh
raja atau sultan pribumi, namun harus tunduk pada Belanda.
Untuk menegaskan kekuasaan, Belanda membuat dua jenis kontrak: Korte Verklaring
(pernyataan pendek) dan Long Contract (kontrak panjang). Dalam korte verklaring,
seorang kepala swapraja berjanji tunduk kepada Raja Belanda, menaati aturan
Gubernemen, dan tidak boleh membuat perjanjian dengan kekuatan lain. Sementara
dalam long contract, hak dan kewajiban raja serta Belanda diatur lebih rinci (Laely,
2018).

