Page 24 - Modul Sejarah Lokal Tokoh Perjuangan Lampung
P. 24
13
Gambar 2. Perkebunan Lada di Lampung
Sumber:https://bit.ly/SoutheastAsianCaribbeanImages
Segera tidak hanya kepala marga, bagi siapapun yang sanggup mempersembahkan
sejumlah lada, maka akan memperoleh keistimewaan-keistimewaan yang sama.
Keistimewaan itu seperti piagam terukir dari temabaga dan bergam hadiah simbilok
lainnya. Akhirnya, tak ada jalan lain selain mereka berlomba-lomba menanam lada
untuk ditukarkan dengan keharuman nama dan merayakan harga diri dengan gelar yang
mendapat pandangan mata dari rekan senegaranya (Canne, 1862).
Jadi selain perkara ekonomi, juga motivasi harga diri yang kemudian memicu
gesekan internal tak dapat dihindari. Kondisi demikian terus berlanjut hingga masa
Belanda. Sebagai contoh kasus yang disampaikan oleh Ratu Melinting ke-XVIII. Ada
kebiasaan yang agak berbeda dalam masyarakat Lampung untuk meningkatkan gengsi
demi harga diri dalam hal pembayaran pajak kepada Belanda. Dalam memanfaatkan
celah itu, Belanda kerap menggunakan kalimat atau istilah-istilah untuk mengipasi dan
meninggikan hati rakyat Lampung demi kepentingannya sendiri. Dengan melontarkan
kalimat “ada berapa laki-laki gagah di kampung ini?” kepada pribumi, maka mereka
terpancing untuk gagah-gagahan, karena yang disebut laki-laki gagah ialah yang
membayar pajak dalam jumlah besar (Canne, 1862).

