Page 9 - Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Edisi Kedua
P. 9
vii
Mengapa perlu memberi perhatian pada halhal yang bersifat
dasar? Pengalaman sejak 2006 dalam pengajaran cabang ilmu hukum
tentang HAKI di Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada pula yang mendorong percepatan langkah penulisan
buku ini. Selama membantu pengajaran di program pendidikan
pasca di bidang Ilmu Hukum Bisnis, penulis mendapati ternyata tidak
semua mahasiswa pasca—yang sarjana hukum sekalipun—pernah
mengambil mata pelajaran HAKI selama pendidikan S1 mereka. Di
antara yang pernah berkenalan dengan HAKI, kebanyakan menda
patkannya ketika mengikuti perkuliahan salah satu jenis di antara
rumpun HAKI, atau ketika disinggung sebagai bagian dalam perku
liahan Hukum Dagang. Kelompok yang terakhir itu pun tampaknya
juga belum memiliki gambaran yang utuh tentang rumpun dan
sistem HAKI. Kesan lainnya, mereka malahan belum memiliki pema
haman yang semestinya tentang filosofi dan prinsip-prinsip yang
mendasari HAKI itu sendiri. Dalam ruang perkuliahan HAKI pula,
penulis memperoleh kenyataan bahwa mahasiswa pasca yang
berasal dari disiplin teknik, komputer, farmasi, pertanian, peternakan,
biologi, kedokteran (umum/gigi/hewan), ekonomi, fisipol, ataupun
prodi budaya, bahkan belum pernah bersinggungan dengan perkuli
ahan HAKI selama pendidikan S1 mereka.
Dari wawancara dengan para mahasiswa yang sarjana hukum
itu pula penulis memperoleh gambaran yang agak jelas tentang
peta pengajaran HAKI di Indonesia. Belum semua fakultas hukum
dapat memberikan pengajaran HAKI secara terstruktur dan apalagi
lengkap, kecuali jenis HAKI yang telah lazim dikenal “secara tradisi
onal” seperti Hak Cipta, Merek, dan Paten. Pengajarannya juga lebih
bersifat melompat ke pengenalan prinsipprinsip dalam pengaturan
undangundang yang mengaturnya. Beberapa fakultas hukum
memang sudah ada yang menyinggung materi beberapa jenis HAKI,
tetapi belum mendalam. Apalagi dalam jenisjenis yang lebih baru
seperti Desain Produk Industri, Rahasia Dagang, dan atau Indikasi