Page 184 - Buku 9
P. 184
serta mengatur alokasi kekuasaan dan kekayaan di desa.
Negara menjadikan desa sebagai obyek regulasi dan pemba-
ngunan, terbukti semua departemen, kecuali Departemen
Luar Negeri, mempunyai proyek di desa. Pemerintah juga
menempatkan kades sebagai alat negara dan ujung tom-
bak politik dan pembangunan di desa. Secara politik kades
merupakan “penguasa tunggal” desa yang tidak terkontrol
rakyat. Secara ekonomi, para kades di Jawa relatif kaya bu-
kan semata karena tanah bengkok, tetapi sistem birokrasi
membiarkan para kades mengutip bantuan desa, uang ad-
ministrasi dan proyek-proyek pembangunan.
Tetapi sejak 1998 posisi ekonomi-politik kades mengala-
mi krisis yang serius. Di Jawa, misalnya, sejak Juli 1998,
banyak kades bermasalah yang terkena “reformasi” (digul-
ingkan) oleh rakyatnya sendiri. Ini menandai babak baru
relasi antara kades dan rakyat. Rakyat semakin kritis dan
akrab dengan jargon TPA (transparansi, partisipasi dan
akuntabilitas). Para kades sangat sadar akan perubahan ini.
Kehadiran UU No. 22/1999 sebenarnya hendak mengubah
karakter desa korporatis menjadi karakter desa sipil, atau
desa sebagai institusi publik yang otonom dan demokra-
tis. UU ini mengurangi masa jabatan kepada desa seka-
ligus mengurangi kekuasaan kepala desa, sekaligus mem-
perkuat institusi representasi politik dalam bentuk Badan
Perwakilan Desa (BPD). Karena itu posisi penguasa tunggal
kades kian berkurang setelah lahir UU No. 22/1999. Kehad-
iran Badan Perwakilan Desa (BPD) melembagakan kontrol
politik terhadap kades. Sebagian besar kasus menunjukkan
IDE, MISI DAN SEMANGAT UU DESA 183

