Page 147 - CHAIRIL ANWAR - Aku_Ini_Binatang_Jalang
P. 147

itu  pun  “dipukul  angin  yang  terpendam”.  Dalam  keseluruhan
                 sajak  ini,  kata  “dipukul”  jelas  merupakan  kata  yang  paling
                 “keras” — mengungkapkan masih adanya sesuatu di dalam yang
                 “terpendam”, yang memukul-mukul dahan yang “merapuh”. Si
                 aku lirik dalam sajak ini pun menyadari sepenuhnya bahwa hari
                 belum malam, namun terasa “jadi akan malam”.
                    Suasana  yang  mengendap  dan  pikiran  yang  tertib  dalam
                 sajak  tersebut  sama  sekali  berlainan  dengan  semangat  yang
                 teraduk  dalam,  misalnya,  “Diponegoro”  dan  “Aku”.  Namun,
                 dalam  perkembangan  puisi  Chairil,  perbedaan  tersebut  tidak
                 membuktikan  adanya  perubahan  yang  mendadak.  Benih
                 kematangan  perenungan  itu  sudah  tampak  sejak  dini,  bahkan
                 pada sajak “Nisan”, yang ditulis pada awal kegiatannya sebagai
                 penyair.  Perbedaan  antara  “Nisan”  dan  “Derai-derai  Cemara”
                 mengungkapkan  perubahan  yang  mendasar:  dalam  sajak  yang
                 ditulisnya tahun 1942 itu rahasia kehidupan diungkapkan dengan
                 teknik yang belum dikuasai sehingga cenderung gelap, sedangkan
                 sajak  yang  disusun  menjelang  kematiannya  itu  menunjukkan
                 teknik persajakan yang sepenuhnya telah dikuasai sehingga terasa
                 jernih.
                    Bagaimanapun, Chairil Anwar tampil lebih menonjol sebagai
                 sosok  yang  penuh  semangat  hidup  dan  sikap  kepahlawanan.
                 Sajak-sajaknya  yang  paling  sering  terdengar  dalam  pelbagai
                 acara  pembacaan  puisi  mungkin  adalah  “Aku”  dan  sadurannya
                 “Krawang-Bekasi”.  Kita  umumnya  beranggapan  bahwa  “Aku”
                 mencerminkan sikap indi vidualistis penyair ini; boleh dikatakan
                 berdasarkan sajak inilah ia dianggap seorang individualis. Tetapi
                 sajak sadurannya “Krawang-Bekasi” sama sekali tidak menunjuk-
                 kan  sikap  itu.  Bahkan  sebenarnya  Chairil  Anwar  adalah  salah
                 seorang penyair kita yang memperhatikan kepentingan sosial dan
                 politik bangsa. Beberapa larik “Krawang-Bekasi” berbunyi:

                    Teruskan, teruskan jiwa kami
                    Menjaga Bung Karno
                    Menjaga Bung Hatta
                    Menjaga Sjahrir.

                    Sajak saduran ini ditulis tahun 1948, ketika kita semua berada
                 dalam kesulitan dan kebanyakan pemimpin bangsa menghadapi
                 bahaya. Tahun demi tahun keadaan politik pun bergeser, dan 15



                 122




        Buku Puisi Chairil Anwar_isi.indd   122                            6/27/11   3:42 PM
   142   143   144   145   146   147   148   149   150   151   152