Page 148 - CHAIRIL ANWAR - Aku_Ini_Binatang_Jalang
P. 148

tahun  setelah  ditulis,  dua  larik  “Menjaga  Bung  Hatta/Menjaga
                  Bung Sjahrir” itu tidak jarang dihapus dalam pembacaan puisi.
                  Demikianlah, “binatang jalang” yang dahulu hidupnya bohemian
                  itu  menjadi  tokoh  yang  diperhitungkan  dalam  percaturan
                  politik,  suatu  kenyataan  yang  tentunya  ia  sendiri  pun  tidak
                  menduganya.  Perhatiannya  terhadap  perjuangan  bangsanyalah
                  yang  telah  mendorongnya  menyusun  sajak  saduran  itu,  dan
                  bukan kecenderungan untuk memihak kelompok politik tertentu.
                  Dorongan  itu  pulalah  tentunya  yang  telah  menghasilkan  sajak
                  yang  sama  sekali  tidak  mencerminkan  sikap  individualistis  dan
                  jalang:

                     PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

                     Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
                     Aku sudah cukup lama dengar bicaramu, dipanggang
                        atas apimu, digarami oleh lautmu

                     Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
                     Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
                     Aku sekarang api aku sekarang laut

                     Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat
                     Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
                     Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh.

                     Penyair  yang  tidak  pernah  secara  tersurat  menyatakan
                  keterlibatannya pada kegiatan politik pihak tertentu, yang pernah
                  menulis larik-larik sajak yang menyatakan bahwa sejak Proklamasi
                  ia  “melangkah  ke  depan  berada  rapat  di  sisi”  Bung  Karno  dan
                  merasa bahwa ia dan Bung Karno “satu zat satu urat” itu, pada
                  akhir paruh pertama tahun 60-an menjadi taruhan pelbagai pihak
                  dalam kegiatan politik praktis. Pada tahun 1965, komisaris dewan
                  mahasiswa  sebuah  fakultas  sastra  menyatakan  bahwa  gagasan
                  kepenyairan Chairil Anwar bertentangan dengan faham Sosialis-
                  me Indonesia dan Amanat Berdikari yang digariskan Bung Karno;
                  pernyataan itu kemudian dibenarkan oleh pimpinan fakultas yang
                  bersangkutan, bahkan kemudian menolak tanggal 28 April — hari
                  kematian Chairil Anwar — sebagai Hari Sastra. Pada pertengahan
                  tahun  yang  sama,  seorang  tokoh  Lembaga  Kebudayaan  Rakyat



                                                                       123




        Buku Puisi Chairil Anwar_isi.indd   123                            6/27/11   3:42 PM
   143   144   145   146   147   148   149   150   151   152   153