Page 244 - 5f871381b4cd9c6426e115cd17c3ac43
P. 244
220 | Kekinian Keanekaragaman Hayati Indonesia 2014
Keberadaan, peningkatan, atau penu- daerah dapat dijadikan indikator menurun-
runan populasi jenis binatang tertentu dapat nya kualitas lingkungan (Brown 1997). Tidak
mengindikasikan kerusakan ekosistem. Seba- kalah pentingnya, kehadiran tikus rumah di
gai contoh, cacing tanah (Lumbricus spp.), hutan menandakan hutan tersebut sudah
dapat digunakan sebagai indikator keasaman terganggu. Adanya tikus dan semut di dalam
tanah. Beberapa jenis artropoda tanah, khu- gua mencirikan gangguan terhadap ekosistem
susnya ekorpegas (Collembola), isopoda, dan gua. Kelompok ikan juga dapat digunakan
moluska dapat digunakan sebagai indikator sebagai bioindikator, terutama untuk mem-
keberadaan logam berat (Cortet et al. 1999). pelajari respons berjangka adanya perubahan
Populasi capung yang tinggi mengindikasi- kualitas perairan. Keberadaan monyet kra
kan tingkat polusi lingkungan yang rendah (Macaca fascicularis) mengindikasikan bahwa
karena capung merupakan serangga yang kawasan telah mengalami kerusakan. Di
tidak tahan terhadap polutan, khususnya sisi lain, keberadaan monyet kra berfungsi
logam berat (Benton & Guttman 1990). sebagai pemencar biji untuk memulihkan
hutan. Jika hutan telah terpulihkan maka
Katak juga sebagai bioindikator untuk
melihat kualitas lingkungan melalui ke- populasi monyet cenderung akan menurun
beradaan katak dewasa pada habitat darat dengan sendirinya.
atau berudu pada air tawar (Simon et al. Menurut Pearson (1994), beberapa krite-
2011). Studi polusi logam berat di beberapa ria umum yang perlu dipertimbangkan dalam
ekosistem perairan menggunakan indikator pemilihan jenis bioindikator antara lain 1)
keberadaan katak, menunjukkan peningkatan organisme yang dimaksud telah stabil dan
dalam beberapa tahun terakhir (Johansson cukup diketahui secara taksonomi, 2) sejarah
et al. 2001, Simon et al. 2011). Beberapa alamiahnya diketahui, 3) mudah disurvei dan
jenis katak memiliki toleransi pencemaran dimanipulasi, 4) terdistribusi secara luas pada
logam berat yang berbeda-beda. Misalnya berbagai tipe habitat untuk taksa yang lebih
Limnodynastes sp. dan Crinia sp. memiliki tinggi, 5) spesialis dan sensitif terhadap pe-
toleransi yang tinggi, sedangkan Litoria spp. rubahan habitat pada taksa yang lebih rendah,
memiliki toleransi rendah hingga sedang. 6) terdapat keterkaitan pola keanekaragaman
Melimpahnya populasi jenis semut antartaksa, dan 7) memiliki potensi ekonomi
Anaplolepis spp. (Formicidae) pada suatu yang penting.
TIKUS SEBAGAI BIOINDIKATOR
Di kawasan hutan primer Indonesia bagian barat (Sumatra, Kalimantan, dan Jawa), keberadaan tikus
Niviventer cremoriventer, Maxomys surifer, M. rajah, dan Leopoldamys sabanus menjadi sangat penting.
Jika kawasan hutan primer berubah menjadi hutan sekunder dapat diindikasikan oleh keberadaan
tikus Maxomys surifer, M. rajah, M. whiteheadi, dan Rattus exulans. Jika manusia mengubah kawasan
hutan sekunder menjadi persawahan yang berbatasan dengan hutan dapat dicirikan oleh keberadaan
tikus Maxomys whiteheadi, Rattus exulans, dan Rattus rattus. Perubahan persawahan yang berbatasan
dengan hutan menjadi persawahan beririgasi dapat diindikasikan dari keberadaan Rattus argentiventer,
R. exulans, dan R. rattus. Selain itu, perubahan persawahan menjadi kebun dan perumahan dapat
diindikasi adanya dominasi dari keberadaan R. exulans dan R. rattus. Jika semua kawasan telah berubah
menjadi kawasan perumahan maka yang mendominasi adalah Rattus rattus (Maryanto 2009).