Page 26 - TERE LIYE
P. 26
Bapak tersenyum. Mendekat, duduk di sebelahku.
Kalian tahu, satu hal yang selalu aku suka dari Bapak
adalah jika ia bilang menemani, maka ia benar-benar akan
menemani-ku. Ikut duduk menatap perkampungan tidak
bicara sama sekali. Kami berdua menatap kerlip lampu
petromaks di rumah tetangga. Sesekali petir menyambar
membuat terang lembah. Sesekali mengelap wajah yang
basah oleh tampias.
Bapak selalu membiarkanku membuka mulut lebih dulu.
Bahkan, jika aku memutuskan tidak akan bicara.
Menemani, itu jelas pendekatan komunikasi paling brilian
yang dicontohkan Bapak.
"Amel benci jadi anak bungsu." Itu kalimat pertama yang
keluar dari mulutku. Membuka percakapan setelah lengang
lima belas menit. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
Bapak menoleh.
"Amel benci jadi anak bungsu!!" Kali ini suaraku lebih
ketus.
"Ada apa dengan jadi anak bungsu, Amel?" Bapak bertanya
lembut.
Aku diam, menunduk. Menatap bunga mawar di halaman
rumah yang basah kuyup.
"Pokoknya Amel benci jadi anak bungsu." Bapak menghela
napas pelan.
"Kau tadi siang pasti bertengkar lagi dengan Kak Eli."
26 | www.bacaan-indo.blogspot.com