Page 11 - KARLINA_TGS_MAKALA
P. 11
7
sendiri, terlepas dari unsur yang berada di luar dirinya. Telaah sastra dalam pendekatan
ini melihat karya sastra sebagai sesuatu yang terlepas dari unsur sosial budaya,
pengarang, dan pembacanya. Karena itu, semua hal yang berada di luar karya, seperti
biografi pengarang, psikologi, sosiologi, dan sejarah, tidak diikut sertakan dalam
analisis. Menurut Teeuw (2003: 111), yang diperlukan dalam pendekatan ini adalah
close reading, yaitu pembacaan secara mikroskopis atas karya sastra sebagai ciptaan
bahasa. Aristoteles (dalam Teeuw, 2003:100-102), mengenalkan strukturalisme dalam
konsep wholeness, unity, complexity, dan coherence, yang memandang bahwa
keutuhan makna bergantung pada keseluruhan unsur. Wholeness atau keseluruhan;
unity, berarti semua unsur harus ada; complexity, berarti luasnya ruang lingkup harus
memungkinkan perkembangan peristiwa yang masuk akal; coherence, berarti
sastrawan bertugas untuk menyebutkan hal-hal yang mungkin atau yang harus terjadi
sesuai konsistensi logikacerita.
Menurut Culler (1975:3), dalam menganalisis karya sastra dengan pendekatan
strukturalisme, orang harus memfokuskan kajiannya pada landasan linguistik. Adapun
aspek karya sastra yang dikaji dalam pendekatan strukturalisme ini adalah tema, alur,
latar, penokohan, gaya penulisan, dan hubungan antaraspek yang membuatnya
menjadi karya sastra.
Teeuw (1984:135-136) menandaskan, bahwa tujuan analisis struktural adalah
membongkar dan memaparkan secermat mungkin keterkaitan dan keterjalinan
berbagai unsur yang secarabersama sama membentuk makna. Yang penting
bagaimana berbagai gejala itu memberikan sumbangan dalam keseluruhan makna
dalam keterkaitan dan keterjalinannya, serta antara berbagai tataran yakni fonemik,
morfologis, sintaksis dan semantik. Keseluruhan makna yang terkandung dalam teks
akan terwujud hanya dalam keterpaduan struktur yang bulat.
Pertama-tama kaum strukturalis memandang wujud sebagai suatu keseluruhan,
sebagai sesuatu yang utuh, yang setelah dianalisis ditemukan sebab-sebab keutuhan
itu. Meskipun demikian struktur tersebut tidaklah statis sebagai konsekuensi manusia
sebagai homo significant. Manusia, menurut Barthes, terus-menerus ingin memberi