Page 21 - e-modul bab 4 PAI
P. 21
ِ
ِ
ِ
ِ
ص ْ نَأ يغ ْ ِ َ ِ ْ َ جَ أ و ى جَ ُ َ أ ن ،ة ح ة ُ س س
َ
َ َ
ََْ
ْ
َ
ْ
َ ْ
ْ
َ
َ
ْ َ
َ
َ َ
ُ
ُ
ُ َ
َ
ِ
ِ
ء ش
) ا هاور ( ْ َ ىر جُ أ ْ ِ
ُ
ْ
“Barangsiapa yang menjalankan kebiasaan baik, maka baginya pahala dan
pahala orang yang mengamalkan sesudahnya serta tidak akan berkurang
sedikitpun pahala tersebut darinya.”
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah
ibn Mas‟ud disebutkan: “Apa yang dipandang baik oleh umat Islam,
maka di sisi Allah pun baik”. Hadis tersebut oleh para ahli ushul fiqh
dipahami (dijadikan dasar) bahwa tradisi masyarakat yang tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip syari‟at Islam dapat dijadikan
dasar pertimbangan dalam menetapkan hukum Islam (fikih).
Apa yang disampaikan Rasul SAW dalam hadis di atas menjadi
bahan pertimbangan para ahli hukum Islam membuat kaidah hukum
yang akomodatif terhadap budaya dan tradisi masyarakat. Salah satu
tokoh fikih yang menerapkan kaidah ini adalah Imam Malik. Dia -
dalam salah satu prinsip yang dikembangkan- menjadikan tradisi
masyarakat Madinah menjadi kaidah hukum. Salah satu contohnya
adalah pelaksanaan shalat tarawih. Imam Malik berpendapat bahwa
rakaat shalat tarawih adalah 36 rakaat. Angka ini mengacu kepada
jumlah rakaat shalat tarawih yang di lakukan masyarakat Madinah
yang telah menjadi tradisi mereka.
Tidak jauh berbeda dengan Imam Malik, Imam Syafi‟i juga
menjadikan situasi dan kondisi masyarakat sebagai pertimbangan
hukum. Hal ini bisa dilihat dari dua kelompok pendapat yang pernah
dirumuskan oleh Imam Syafi‟i, yakni qaul jadid (pendapat baru) dan
qaul qadim (pendapat lama). Qaul jadid artinya pendapat Imam
Syafi‟i ketika beliau berada di Iraq. Sementara qaul qadim adalah
pendapat Imam Syafi‟i setelah berpindah ke Mesir. Perubahan
pemikiran yang dialami oleh Imam Syafi‟i menunjukkan bahwa
situasi dan kondisi yang berbeda yang dia alami dianggap perlu untuk
merumuskan hukum yang berbeda.
Apa yang ditunjukkan oleh dua tokoh fikih terkemuka diatas
menunjukkan bahwa pemahaman terhadap ajaran agama tidak bisa
mengabaikan proses-proses sosial, politik dan budaya yang berlaku di
masyarakat. Kesimpulan ini setidaknya dapat memberikan jawaban
terhadap kelompok muslim puritan (memurnikan ajaran) yang selalu
ingin mengembalikan prilaku beragama seperti yang diperlihatkan oleh
18