Page 185 - S Pelabuhan 15.indd
P. 185
ATLAS PELABUHAN-PELABUHAN BERSEJARAH DI INDONESIA
Masih menurut Tomé Pires, ketika itu di Cimanuk, bandar Kerajaan Sunda yang
paling timur, sudah banyak berdiam orang yang beragama Islam. Tidak tertutup
kemungkinan bahwa mereka itulah yang oleh Carita Parahyangan dianggap sebagai
orang-orang yang merasa hidupnya tidak tenteram karena melanggar ajaran Sanghyang
Siksa. Namun yang jelas, sebegitu jauh dapat diperkirakan bahwa pada awal abad ke-
16 itu pengaruh Islam belum sampai ke pusat Kerajaan Sunda, sebagaimana antara
lain diberitakan Carita Para hyangan, “…mana mo kadatangan ku musuh ganal,
musu(h) alit …” yang artiya “karena tidak terdatangi oleh musuh kasar (dan) musuh
halus”. Musuh kasar adalah balaten tara, sedangkan musuh halus adalah tersebarnya
kepercayaan atau agama baru yang sama-sama dapat menyebabkan terjadinya
perubahan.
Gambaran yang sama juga diperoleh dari sumber Portugis. Seperti yang dicatat
Barros mengenai kedatangan Henrique Leme pada tahun 1522 ketika menghadap
raja Sunda untuk membuat perjanjian, dan peristiwa penguasaan Falatehan atas
Banten Girang. Demikian pula catatan Couto mengenai kedatangan Francisco de
Sa ke Sunda pada tahun 1527 untuk membangun benteng seperti yang dijanjikan
raja Sunda sebelumnya. Kedua peristiwa ini ditafsirkan berlangsung di daerah pesisir
Banten (Pelabuhan Sunda) dan Banten Girang (Bintam atau Bata) (Guillot 1990,
11-12; 1992).
Dalam pada itu, berbagai sumber naskah dan tradisi lisan masyarakat Banten
menyebutkan, setelah berhasil mengalahkan Banten (Girang), sebelum menjadi raja,
Maulana Hasanuddin memindahkan pusat pemerintahan ke daerah Banten (Lama)
yang terletak di tepi laut. Pemindahan pusat kekuasaan itu, di satu pihak disebabkan
oleh hasrat untuk lebih “terbuka”, di pihak lain disebabkan oleh pola pikir budaya
Jawa yang menyatakan bahwa pusat pemerintahan yang kalah tidak boleh digunakan
lagi sebagai ibukota karena telah tercemar.
173