Page 6 - 4245: Sejarah Gua Jepang
P. 6
Di sisi lain desa, Gayatri berdiri di pintu rumahnya,
Di sisi lain desa, Gayatri berdiri di pintu rumahnya,
menyaksikan tentara-tentara Jepang yang sibuk memasang
menyaksikan tentara-tentara Jepang yang sibuk memasang
tenda dan persiapan untuk menguasai kebun teh. Ia Ia
tenda dan persiapan untuk menguasai kebun teh.
merasakan ketakutan yang sama seperti malam sebelumnya,
merasakan ketakutan yang sama seperti malam sebelumnya,
tetapi juga ada rasa kebingungan yang mendalam. Janji
tetapi juga ada rasa kebingungan yang mendalam. Janji
perubahan yang diucapkan Jepang kini terasa seperti
perubahan yang diucapkan Jepang kini terasa seperti
cemoohan pahit.
cemoohan pahit.
Ayah Gayatri, yang pulang larut malam setelah pertemuan
Ayah Gayatri, yang pulang larut malam setelah pertemuan
dengan pejabat Jepang dengan Pak Karto yakni tetua desa
dengan pejabat Jepang dengan Pak Karto yakni tetua desa
Pandansari, tampak lesu dan putus asa. “Mereka tidak akan
Pandansari, tampak lesu dan putus asa. “Mereka tidak akan
mendengarkan kita,” katanya lirih kepada Gayatri. “Kita
mendengarkan kita,” katanya lirih kepada Gayatri. “Kita
harus mencari cara untuk bertahan. Keluarga kita, desa ini,
harus mencari cara untuk bertahan. Keluarga kita, desa ini,
kita semua harus tetap kuat.”
kita semua harus tetap kuat.”
Di hari-hari yang semakin gelap
Di hari-hari yang semakin gelap
tu, Darwis berdiskusi dengan Hasan,
i itu, Darwis berdiskusi dengan Hasan,
ahabatnya yang penuh semangat
s sahabatnya yang penuh semangat
dan berani. Hasan memiliki darah
dan berani. Hasan memiliki darah
panas dan tekad baja. Dia tidak
panas dan tekad baja. Dia tidak
bisa menerima kenyataan bahwa
bisa menerima kenyataan bahwa
mereka harus tunduk begitu
mereka harus tunduk begitu
saja kepada penjajah baru.
saja kepada penjajah baru.
“Darwis, kita tidak bisa terus seperti ini,” kata Hasan suatu
“Darwis, kita tidak bisa terus seperti ini,” kata Hasan suatu
malam ketika mereka duduk di tepi kebun teh. “Mereka
malam ketika mereka duduk di tepi kebun teh. “Mereka
merampas hidup kita. Kita harus melawan, apapun risikonya.”
merampas hidup kita. Kita harus melawan, apapun risikonya.”
Darwis menghela napas panjang, menatap sepupunya dengan
Darwis menghela napas panjang, menatap sepupunya dengan
mata penuh kelelahan. “Aku mengerti perasaanmu, Hasan.
mata penuh kelelahan. “Aku mengerti perasaanmu, Hasan.
Tapi kita harus bijak. Perlawanan terbuka hanya akan
Tapi kita harus bijak. Perlawanan terbuka hanya akan
membuat mereka semakin keras terhadap kita.”
membuat mereka semakin keras terhadap kita.”
Hasan menggeleng keras. “Jika kita tidak melawan, kita akan
Hasan menggeleng keras. “Jika kita tidak melawan, kita akan
kehilangan segalanya. Kita harus menunjukkan bahwa kita
kehilangan segalanya. Kita harus menunjukkan bahwa kita
tidak takut. Kita harus memanggil keberanian kita dan
tidak takut. Kita harus memanggil keberanian kita dan
menolak mereka, meskipun itu berarti mempertaruhkan
menolak mereka, meskipun itu berarti mempertaruhkan
nyawa.”
nyawa.”
Halaman 05