Page 115 - Level B1_Isi APa yang lebih seru? SIBI.indd
P. 115
Puluhan mata memandang dari balik dinding Kesunyian ini membuat Jalu curiga. Jangan-jangan
bambu bermotif silang Bale Patemon. Mereka seolah suaranya sangat lantang, pikirnya.
tak ingin melewatkan satu kata pun yang terucap “Konten itu.…”
dari para tetua adat. Jalu sempat mendengar beberapa
kerabat yang menghalau para penonton, tetapi tampak Rasa bersalah membuat kepercayaan diri Jalu
sia-sia saja. menguap. Pita suaranya bergetar dengan tidak stabil.
Dia tidak yakin dengan ucapannya sendiri. Namun,
Jalu duduk di tengah-tengah ruangan, sendirian. Dia tak satu pun komentar terdengar di telinga Jalu.
sengaja tak memberi tahu Ijad perihal dirinya dipanggil Uwak Tatang menunggu penjelasannya. Dia hanya
oleh tetua adat. Baginya, ini adalah bagian dari tanggung memandang, tanpa menyela.
jawabnya. Dia tidak ingin menimbulkan masalah bagi
temannya. Bagaimanapun, Ijad adalah warga Sanaga. Jalu menghela napas. Meski terseok, dia melawan
rasa jeri di hatinya. Dia tahu, dia harus bicara.
Di hadapannya, Jalu melihat Uwak Tatang duduk
di antara Punduh Adat dan Lebe. Ada sedikit gentar “Awalnya, abdi hanya ingin mendapatkan uang
mampir saat dia menatap Uwak Tatang. Garis-garis tambahan dari membuat video. Kalau video itu ditonton
wajah Uwak Tatang mengingatkan Jalu pada Abah. banyak orang, Jalu akan mendapatkan bayaran. Tapi,
Tulang pipi dan bentuk rahang mereka seolah terbuat abdi tidak menyangka bahwa itu akan mencoreng nama
dari cetakan yang sama. Suara mereka pun nyaris Kampung Naga dan membuat kehebohan. abdi salah,”
senada, berat dan membahana. Juga, tatapan matanya. ungkap abdi. Kepalanya makin dalam tertunduk.
Jalu merasa sedang ditatap oleh Abah saat Uwak Jalu mengintip wajah Uwak Tatang dengan sisa
Tatang memandang ke arahnya. Sedalam apa pun Jalu keberaniannya. Tangan Uwak Tatang terlipat di
menunduk, dia merasa tak bisa bersembunyi. Perasaan depan dada. Sementara wajahnya makin lama makin
malu menggerogotinya. Terutama karena, kali ini, dia merah. Alisnya yang hitam dan tebal bergerak ke
telah mencoreng nama Kampung Naga. dalam hingga bertemu di bagian tengah dahinya yang
mengerut. Hati Jalu makin ciut.
“Saya— eh, abdi—“ ucap Jalu terbata-bata.
“Jalu berjanji tidak akan mengulanginya lagi,”
Dengung kasak kusuk yang sedari tadi menembus bisik Jalu.
lewat jendela Bale Patemon mendadak sunyi.
“―membuat konten.”
106 Mengejar Hari Paling Buruk 107
Bab 11
Haruto