Page 26 - Perjuangan Pondok Pesantren Lirboyo Dalam Peristiwa 10 November 1945 Terbaru
P. 26
Ultimatum itu pada tanggal 9 November 1945. Isi dan maknanya
merupakan penghinaan terhadap martabat dan harga diri bangsa
indonesia. Isi pokoknya adalah tuntutan ada semua pemimpin
Indonesia, pemimpin pemuda, kepala polisi, dan kepala pemerintahan,
harus melapor pada tempat dan waktu yang ditemtukan dengan
meletakan tangan mereka di atas kepala, dan Kemudian
menandatangani dokumen yang disediakan sebagai tanda menyerah
tanpa syarat.
Pemuda-pemuda bersenjata diharuskan menyerahkan senjatanya
dengan berbaris serta membawa bendera putih. Batas waktu yang
ditentukan adalah pukul 06.00 pada tanggal 10 November 1945.
Apabila tidak diindahkan, Inggris akan mengerahkan seluruh kekuatan
darat, laut, dan udara. Ultimatum ini ditandatangani oleh Mayor Jendral
E.C. Mansergh. Untuk menentukan sikap terhadap ultimatum ini para
pemimpin di Surabaya mengada pertemuan. Pemuda Surabaya
berusaha menghubungi Presiden Soekarno untuk meminta instruksi
mengenai tindakan apa yang akan diambil menerima atau menolak
ultimatum. Namun, mereka hanyaberhasil mengadakan hubungan
dengan Menteri Luar Negeri Mr. Ahmad Soebarjo. Menteri Luar Negeri
menyerahkan "kata putus" kepada rakyat Surabaya. Secara resmi,
Gubernur Suryo melalui radio menyatakan menolak ultimatum Inggris.
(Poesponegoro & Notosusanto , 2011:193).
Pemuda Surabaya melawan tentara Sekutu yang dipimpin oleh
bung Tomo. Selain itu, bung tomo meminta bantuan kepada kyai untuk
melawan tentara Sekutu dalam mempertahankan bangsa Indonesia.
Kemudian membentuk organisasi bernama resolusi jihad yang terdiri
kyai dan santri dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Pada
resolusi jihad, kyai dan santri yang menekankan kewajiban mengikuti
perang sabil melawan penjajah kolonial sebagai hasil keputusan dalam
konferensi para ulama yang tergabung dalam Jam'iyah NU (kala itu
masih bernama Hoofd Bestuur Nahdlatul Oelama, HBNO).