Page 19 - Transformasi Melayu Islam di Kota Jambi Pada Masa Kolonial
P. 19
D. Transformasi Melayu Islam Pada Masa
Modernisasi Belanda
Masyarakat Melayu Jambi bila dilihat dari tradisi terdahulu, (maksudnya konsep Islam
tradisonal seperti kebiasaan, adat keagamaan, dan praktek keagamaan) berpegang teguh pada
tata nilai Adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah, syara’ mengato adat memakai.
Seloko adat singkat ini memiliki muatan padat sekaligus merupakan fondasi yang paling dasar
bagi adat. Adat bersendi syara bermakna bahwa landasan dasar dari adat (Melayu) itu adalah
syar‘i‘ atau agama (Islam). Syara’ bersendi Kitabullah menyatakan bahwa agama mengacu
pada undang-undangnya yang paling dasar, yaitu Kitabullah atau Alquran. Artinya, nilai adat
yang dijalankan tidak boleh bertentangan dengan syariah yang dijalankan. Ditarik kesimpulan
bahwa apa pun aturan-aturan di dalam adat, akan mengacu pada Al-Quran.
Hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis, tidak diundang-undangkan oleh
pengusasa, tetapi hidup dan berkembang dalam masyarakat sebagai keyakinan yang
ditimbulkan oleh masyarakat, dipakai oleh masyarakat, dan dipatuhi masyarakat untuk
dijadikan nilai hukum yang berlaku. Dari sini dapat dilihat bahwa hukum adat Melayu Jambi
merupakan kebijakan masyarakat dalam menata kehidupan yang tidak bertentangan dengan
ajaran agama Islam. Aturan-aturan tersebut dijalankan oleh masyarakat atas kesadaran individu
dan kelompok dalam beberapa aspek kehidupan seperti hukum perkawinan, hukum pidana, dan
perdata.
Islam tradisional yang mewarnai kultur masyarakat Jambi adalah Seloko adat Jambi.
Sebagai bagian dari tradiri lisan yang diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk tutur kata,
Seloko mempunyai arti kiasan dan pengertian yang sudah jelas. Seloko adat Jambi adalah
ungkapan yang mengandung pesan, amanat petuah, atau nasehat yang bernilai etik dan moral.
Pemakaian ungkapan Seloko merupakan kebiasaan masyarakat sehari-hari sebagai pengokoh
13 / Transformasi Melayu Islam di Kota Jambi Pada Masa Kolonial