Page 23 - Materi Pemulasaran Jenazah Berbasis Kearifan Lokal_Neat
P. 23
Bulleang saratu’ diperuntukkan untuk keturunan bangsawan luwu
atau pemangku adat. Di beberapa daerah pedesaan di luwu,
keturunan bangsawan atau pemangku adat yang bergelar ma’dika atau
tomakaka ini biasanya di panggil puang. Sebutan ini sama dengan
sebutan kepala kampung yang digunakan oleh orang Toraja.
Masyarakat luwu yang bergelar ma’dika atau yang di panggil puang
biasanya akan dimakamkan secara adat dengan menggunakan
bulleang saratu’ serta menyembeli hewan seperti sapi atau kerbau.
Akan tetapi tidak semua yg dipanggil puang acara pemakamannya
disesuaikan dengan adat, hanya orang-orang tertentu atau yang
bergelar datu, ma’dika atau tomakaka yg dimakamkan dengan cara
adat.
Masyarakat zaman dulu
menggunakan bambu berwarna
emas untuk prosesi pemakaman
keturunan bangsawan Luwu
dalam pembuatan bulleang atau
keranda yang berjumlah 100
batang. Seiring berkembangnya
zaman dan sudah jarang adanya
keturunan bangsawan yang
menjadi pemimpin atau kepala
adat di desa (pemangku adat)
dengan sebutan ma’dika maka
bambu yang digunakan tidak
lagi menggunakan bambu
berwarna emas.
Prosesi pemakaman Puang Sabang
Tjampawa bin Puang Campawa
menggunakan tradisi bulleang saratu’
19

