Page 120 - Nanos Gigantos Humeris Insidentes
P. 120
sipil/modal sosial, dalam kasus Indonesia jelas terlihat bahwa
desentralisasi jelas-jelas direbut dan dikuasai oleh ‘uncivil’ groups
(Hadiz 2004a:716). Akhirnya, “sementara kaum neo-institutionalist
memimpikan, meskipun tidak diakuinya, desentralisasi
sebagai bagian dari politik yang lebih luas dimana keahlian
dan ‘rasionalitas’ teknokratik jalan menurut kehendaknya
sendiri, dinamika politik yang nyata menunjukkan ‘para ahli’
teknokratik dan sekutu-sekutu mereka telah dilecehkan karena
program-program mereka direbut oleh mereka yang lebih
kukuh, terorganisir lebih baik dan tentu lebih berkuasa” (Hadiz
2004a:717).
Pada butir terakhir ini, dengan menyadari sepenuhnya
perbedaan mendasar di antara keduanya, penulis menemukan
suatu konvergensi yang janggal antara argumen neo-institutionalist
dengan argumen structural marxist sekitar bahaya desentralisasi:
keduanya mengakui bahwa sebagian besar bukti
empiris memperlihatkan desentralisasi dimanfaatkan
elite dalam pengambilan keputusan publik yang tentunya
menjadi arena pengaruh yang tidak setara antara
kelompok yang diuntungkan dan kelompok yang dirugikan.
Karya Vedi Hadiz memiliki sejumlah konvergensi
dengan karya-karya Toby Carroll (Carroll 2005, 2006), namun
keduanya berbeda pendekatan dalam melihat melihat Program
Pengembangan Kecamatan (PPK) satu contoh evolusi dan
reproduksi neoliberalisme yang secara umum mengarah pada
hegemoni neoliberalisme. Carroll (2005) merangkum dasar
teoritis yang disebut sebagai the Post-Washington Consensus’ Socio-
Institutional Neoliberalism (PWC-SIN) dan menunjukan bahwa
“gagasan-gagasan teoritis di dalamnya sungguh mempengaruhi
bentuk tampilan programnya” (2005:2). Ia dengan cerdik
membuka simpul teoritiknya dan mengurai unsur-unsur
84