Page 463 - My FlipBook
P. 463
Tantangan Pemikiran dan Ideologi Klasik & Kontemporer
Pandangannya sangat terbuka terhadap kritik dari dalam dan dari luar tradisi
Kristen. Lagi pula pandangan ini hampir menutup kemungkinan untuk
13
kontekstualisasi.’’
Berbeda dengan al-Quran, Bible memang ditulis oleh para penulis Bible, yang
menurut konsep Kristen, mendapat inspirasi dari Tuhan. Meskipun demikian, diakui,
bahwa unsur-unsur personal dan budaya berpengaruh terhadap para penulis Bible. Karena
yang dianggap merupakan wahyu Tuhan adalah makna dan inspirasi dalam Bible – dan
bukan teks Bible itu sendiri – maka kaum Kristen tetap menganggap terjemahan Bible
dalam bahasa apa pun adalah firman Tuhan (dei verbum). Dalam tradisi penafsiran Bible,
sebagian teolog melalukan kontekstualisasi yang ekstrim, seperti Bultmann, yang
menganggap Bible sebagai mitos. Dengan ini, hampir setiap bentuk kontekstualisasi
14
adalah mungkin, karena ada banyak cara untuk memahami sejarah.
Dengan karakter Bible semacam itu, maka para pengaplikasi hermeneutika untuk
al-Quran senantiasa -- baik secara terbuka atau tidak -- berusaha menempatkan posisi dan
sifat teks al-Quran sebagaimana halnya teks Bible. Bahwa, teks al-Quran adalah teks
budaya, teks yang sudah memanusiawi, dan sebagainya. Salah satu pelopor usaha ini
adalah Nasr Hamid Abu Zayd, yang terkenal dengan pendapatnya bahwa al-Quran adalah
15
‘produk budaya’ (muntaj tsaqafi/cultural product).
13 David J. Hesselgrave dan Edward Rommen, Kontekstualisasi: Makna, Metode dan Model, hal.
174-175.
14 Tentang perbedaan antara al-Quran dan Bible, Dr. C. Groenen OFM membuat deskripsi menarik:
Bahwa Bible (yang diperkirakan ditulis antara kurun waktu sekitar tahun 40-120 M) merupakan
kitab suci yang diinspirasikan oleh Allah. “Kadang-kadang “inspirasi” itu diartikan seolah-olah
Allah “berbisik-bisik “ kepada penulis. Seolah-olah Allah mendiktekan apa yang harus ditulis. Lalu
orang berkata bahwa Kitab Suci mirip dengan “suatu rekaman”. Boleh jadi saudara-saudara
muslimin dapat memahami kiasan macam itu sehubungan dengan Al-Quran. Tetapi ucapan itu
kurang tepat kalau dipakai sehubungan dengan Alkitab umat Kristen. Sejarah terbentuknya Alkitab
memustahilkan kiasan macam itu. Adakalanya orang sampai menyebut Kitab Suci sebagai “surat
Allah kepada umat-Nya”. Tetapi pikiran itu sedikit kekanak-kanakan dan tidak sesuai dengan
kenyataan. Tidak dapat dikatakan bahwa (semua) penulis suci “mendengar suara Allah yang
mendiktekan” sesuatu. Mereka malah tidak sadar bahwa sedang menulis Kitab Suci!” (C. Groenen,
Pengantar ke dalam Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 1984), hal. 19-37.
15 Michael Cook, dalam bukunya, The Koran: A Very Short Introduction, (2000:44), mengutip
pendapat Nasr Hamid – yang dia tulis sebagai “a Muslim secularist” – tentang al-Quran sebagai
produk budaya: “If the text was a message sent to the Arabs of the seven century, then of necessity
it was formulated in a manner which took for granted historically specific aspects of their language
and culture. The Koran thus took shape in human setting. It was a ‘ cultural product’ – a phrase
Abu Zayd used several times, and which was highlighted by the Court of Cassation when it
determined him to be an unbeliever. (Pendapat Lester dan Cook dikutip dari buku The History of
the Qur’anic Text, From Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New
Testament, karya MusÏafa A’zhami (Leicester: UK Islamic Academy, 2003), hal. 8-9.
451