Page 466 - My FlipBook
P. 466

Bagian Kempat





            Penutup

                    Dari paparan terdahulu tampak bagaimana kecerobohan kaum feminis di
            kalangan Muslim dalam menjiplak  –  sadar atau tidak  –  metodologi penafsiran
            Bible  di  kalangan  feminis  Kristen.  Mereka  tidak  menyadari  akan  hakekat
            perbedaan sifat antara teks Bible dan teks al-Quran sehingga menyamakan begitu
            saja  metodologi  penafsirannya.  Kedua,  mereka  sendiri  terjebak  dalam  ‘pra-
            pemahaman’ subjektif dari konsep ‘gender equality’ sekular-liberal yang jelas-
            jelas  bukan  merupakan  produk  peradaban  Islam.    ‘Keadilan’  menurut  Islam,
            misalnya, bukanlah sama-rata sama-rasa. Laki-laki dan wanita, bagaimana pun,
            tidak sama.
                    Para pengusung paham kesetaraan gender ini mungkin lupa, bahwa syariat
            Islam bersifat universal, yang bersifat lintas zaman dan lintas budaya, karena Nabi
            Muhammad saw adalah Nabi yang diutus untuk seluruh manusia, bukan untuk
            kaum atau bangsa tertentu sebagaimana Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s.

                    ‘’Dan tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad) kecuali kepada seluruh
                    manusia, sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, tetapi
                    sebagian besar manusia tidak mengetahuinya.’’ (QS 34 :28).

                    Karena sifatnya yang universal inilah, maka akan sangat keliru jika dalam
            penafsiran  al-Quran  justru  dikedepankan  metode  kontekstual  sejarah,
            sebagaimana yang diterapkan oleh kaum Yahudi dan Kristen liberal. Harusnya,
            para feminis itu membangun kerangka berfikirnya dari pandangan hidup Islam
            (Islamic worldview), yang tersusun atas konsep-kosep dasar Islam tentang Tuhan,
            manusia, kebenaran, ilmu, kenabian, wahyu, dan sebagainya. Jika worldview para
            feminis itu sudah terkooptasi oleh ‘worldview’ bukan Islam, maka dia otomatis
            akan meletakkan Islam dan al-Quran dalam kerangka pikir yang bukan Islam. Dan
            itulah akibatnya. Mereka akhirnya berani meninggalkan dan membuat hukum-
            hukum baru yang bertentangan dengan makna sebenarnya dari nash-nash al-Quran
            dan Sunnah Rasul.
                  Para  feminis  menuduh  para  mufassir  dan  ulama  fiqih  laki-laki  telah
            menyusun tafsir dan kitab fiqih yang bias gender. Tuduhan itu tentu saja sangat
            tidak benar. Bisa saja sebagian pendapat mereka keliru. Tetapi menuduh mereka
            memiliki motif jahat untuk meindas wanita dan melestarikan hegemoni laki-laki





            454
   461   462   463   464   465   466   467   468   469   470   471