Page 465 - My FlipBook
P. 465

Tantangan Pemikiran dan Ideologi Klasik & Kontemporer


           pernikahan  mereka  haram.  Jika  sore  harinya  sudah  damai,  maka  pernikahan
           mereka jadi halal. Sebab, halal-haramnya tergantung konteks, bukan tergantung
           teks.

                   Argumentasi “kontekstual” semacam ini juga bisa menjadi pemikiran yang
           “liar”.  Contoh:  “Mengapa  daging  babi  diharamkan?”  Maka,  harus  dilihat
           konteksnya,  bukan  hanya  teksnya.  Secara  sosio-ekonomis,  daging  babi  haram,
           karena babi adalah binatang langka di Arab ketika ayat itu diturunkan. Padahal,
           babi saat ini adalah binatang yang paling menguntungkan jika diternakkan. Karena
           itu, secara “kontekstual” sosio-ekonomis, ternak babi adalah halal saat ini, karena
           sangat maslahat bagi umat Islam. Mengapa khamr haram? Secara kontekstual,
           Arab  adalah  daerah  panas.  Maka,  wajar  khamr  diharamkan.  Jika  konteksnya
           berubah (udara dingin), khamr bisa saja halal.

                   Sepanjang  sejarah  Islam,  banyak  kondisi  dimana  kaum  Muslim  tidak
           berperang dengan kaum kafir. Bahkan, selama 1200 tahun lebih, kaum Yahudi
           hidup damai di dalam wilayah Islam. Tetapi, selama itu pula para ulama tidak
           pernah berpikir, bahwa QS 60:10 itu ada kaitannya dengan peperangan, sehingga
           halal  saja  muslimah  menikah  dengan  laki-laki  Yahudi,  karena  tidak  ada
           peperangan antara Yahudi dengan Muslim.
                   Contoh  lain  yang  sangat  fatal  dalam  penafsiran  model  konteks-sejarah
           semacam  ini  dilakukan  oleh  seorang  dosen  Fakultas  Syariah  IAIN  Semarang
           dalam soal mahar. Rokhmadi, M.Ag., dosen Syariah IAIN Semarang itu, ditanya
           tentang kasus perkawinan seorang laki-laki dengan wanita Minang, yang menurut
           si penanya, maharnya justru diberikan oleh pihak wanita, bukan pihak laki-laki.
           Maka dosen itu menjawab:

                   “Wajarlah mahar menjadi kewajiban pihak perempuan karena posisinya di
                   atas laki-laki dalam bersikap dan martabat keluarga. Maka saudara MH
                   Tidak  perlu  risau,  susah,  dan  gelisah.  Justru  saudara  beruntung  tidak
                   dibebani  Mahar.  Terimalah,  sebab  ketentuan  al-Quran  (al-Nisa  ayat  4)
                   tidak  bersifat  mutlak  karena  semata-mata  dipengaruhi  budaya  di  mana
                                    17
                   Islam diturunkan.




                          17   Lihat,  Jurnal  Justisia  Fakultas Syariah IAIN Semarang, Edisi 28 Th.XIII/2005.




                                                                                       453
   460   461   462   463   464   465   466   467   468   469   470