Page 95 - Tata Kelola Pemilu di Indonesia
        P. 95
     dipisahkan oleh Kabupaten Banjar. Fenomena yang sama, yang kemudian
                 disebut dengan “dapil loncat” juga terjadi di beberapa wilayah yang lain.
                 Menurut  Husein  (2014),  penyusunan  dapil  seperti  kasus  Bogor  dan
                 Banjarmasin  menyalahi  prinsip  mendasar  dalam  pembuatan  dapil,  yaitu
                 bahwa  sebuah  dapil  merupakan  satu  kesatuan  yang  utuh  (contiguous
                 district). Selain itu, menurut Rizkiyansyah (2017), komposisi dapil di Pemilu
                 2009 adalah kurang representatif, baik dari unsur suku, budaya, maupun
                 kedekatan secara geografis yang mengakibatkan distribusi logistik menjadi
                 tidak  efektif  dan  tidak  efisien.  Masalah  di  dalam  perumusan  dapil  juga
                 terjadi  di  Pemilu  2014,  misalnya  masyarakat  tradisional Suku  Gayo  yang
                                                                               3
                 terpisah ke dalam dua dapil, yaitu dapil NAD I dan dapil NAD II.  Selain itu,
                 fenomena jumlah kursi yang kurang dari seharusnya (under-represented)
                 dan jumlah kursi yang lebih dari seharusnya (over-represented) juga masih
                                                     4
                 mewarnai pelaksanaan Pemilu 2014.
                 Peserta pemilu-pemilu legislatif di Periode Reformasi adalah Parpol. Namun
                 demikian, yang perlu dicatat adalah bahwa telah terjadi transformasi sistem
                 pemilu. Jika Pemilu 1999 menggunakan sistem perwakilan berimbang daftar
                 tertutup, maka Pemilu 2004 menggunakan sistem daftar setengah terbuka.
                 Sedangkan  Pemilu  2009  dan  Pemilu  2014  menggunakan  sistem  daftar
                 terbuka murni. Konsekuensi dari transformasi sistem pemilu adalah bahwa
                 jika di Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 kontestasi terjadi antar Parpol atau
                 antar calon antar Parpol, maka sejak Pemilu 2009 kontestasi bersifat antar
                 calon di dalam Parpol yang sama. Masih terkait dengan pencalonan, sejak
                 Pemilu 2004 semakin marak terjadi praktek politik uang transaksional di
                 dalam proses pencalonan yang populer dengan sebutan uang mahar, uang
                 formulir,  uang  perahu,  dan  sebutan-sebutan  lain.  Selain  itu,  juga
                 berkembang fenomena politik dinasti (proses pencalonan yang berdasarkan
                 atas relasi kekeluargaan atau kekerabatan) dan juga fenomena Parpol yang
                 mencalonkan para artis atau selebriti dalam rangka meraup kursi (Husein
                 2014).
                 Yang juga perlu mendapat penekanan adalah bahwa di Pemilu 2004, UU
                 Pemilu saat itu telah membawa terobosan baru berupa ketentuan untuk
              3  Lebih detail, lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 6/PUU-XI/2013.
              4  Lebih detail, lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-X/2012.
                                                                   BAB 3 – SISTEM PEMILU    79





