Page 114 - Reforma Agraria Tanah Ulayat
P. 114
Dalam perkembangannya, terjadi perubahan orientasi
perjuangan tanah ulayat di kalangan masyarakat adat. Perubahan
itu berkisar pada kesadaran akan kepentingan perjuangan yang
bukan lagi semata persoalan perbedaan ideologi yang tidak
cocok tetapi juga dikarenakan keberadaan perusahaan dengan
modal besar dalam wujud PTPN V tidak pula menyumbang pada
perkembangan masyarakat. Dari sini barulah kemudian konsep-
konsep moral ekonomi yang disampaikan Scott menjadi acuan
terjadinya pemberontakan atau perlawanan.
Menyikapi pendudukan lahan ulayat di Koto Senama
Nenek oleh PTPN V, pada tanggal 5 Mei tahun 1995 duduk
124
bermusyawarah tali bapilin tigo (tali berpilin tiga) Masyarakat
Adat Senama Nenek. Dari hasil musyawarah tersebut lahirlah
Keputusan Musyawarah Ninik Mamak Pemuka/Pemangku Adat
Negeri Senama Nenek Nomor 05/PA-SN/V/1995. ARC, Kepala
Anim menemukan adanya hubungan spiritual yang erat antara masyarakat adat tersebut
dengan tanah ulayatnya. Nilai yang terkandung dalam simbolisme dalam kehidupan
mayarakat Marind, yang salah satunya dikenal dengan istilah gabze (meliputi tanah,
manusia, kelapa, pisang, tumbuh-tumbuhan hutan, kanguru, tebu, dan umbi-umbian),
diyakini merupakan penjelmaan dari dema, asal mula dari kehidupan Marind. Kesadaran
ini melahirkan mekanisme pertanggungjawaban terhadap alam, dan menghubungkan
mereka dengan dema. Hubungan spiritual tersebut juga menjadi dasar dari identitas ke-
Marind-an. Dalam Laksmi A. Savitri, Korporasi dan Politik Perampasan Tanah, Insist Press,
Yogyakarta, 2013, hlm. 19-21.
124 Tungku Tigo Sajarangan, Tali Bapilin Tigo adalah salah satu filosofi ketatanegaraan yang
masih eksis di Kabupaten Kampar. Tiga tali yang digambarkan berpilin (baca: saling
melilit) dalam filosofi ini bermakna ketiga unsur yang terkandung di dalamnya saling
menguatkan antara satu dengan yang lain. Ketiga unsur yang dimaksud diantaranya: 1.
Pemuka Adat/Penghulu atau Ninik Mamak yang disebut juga kapak gadai nan babobek
bak baghau, batughiong bak sulimang; 2. Alim Ulama seperti Khadi Negeri, Imam
Negeri, dan lainnya yang berperan memelihara ketentuan hukum syara’ dengan sendi
Adat basandi Syara’, Syara’ basandi Kitabullah, Syara’ mangato, Adat mamakai (Adat
bersendi syariah, syariah bersendi kitab Allah, syariah mengatur, adat melaksanakan);
dan 3. Pemegang Undang/Hukum Negara, Badan Pemerintah dan Lembaga Pemerintah
(Umaro’). Lihat Ali Akbar, Op. Cit., hlm. 1.
Transformasi Agraria di Senama Nenek 79