Page 7 - Hubungan Kesultanan Demak dan Cirebon
P. 7
Politik berasal dari bahasa Latin politicus dan bahasa Yunani politicos, artinya
10
(sesuatu yang) berhubungan dengan negara warga negara atau warga kota.
Sedangkan menurut istilah, Deliar Noer mengatakan bahwa “politik adalah segala
aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud
untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu macam
11
bentuk tatanan masyarakat.”
Hubungan politik antara Demak dan Cirebon terjadi ketika kedua kesultanan ini
melakukan persekutuan dalam rangka menaklukan Banten dan Sunda Kelapa yang
12
sebelumnya dikuasi oleh portugis dan Belanda. Peristiwa itu terjadi ketika masa
kepemimpinan Sultan Trenggono yang memerintah dari tahun 1521-1546, Demak
berambisi untuk menaklukan seluruh Pulau Jawa. Tuban merupakan salah satu
pelabuhan penting yang ditundukkan pada tahun 1527. Kemudian giliran Madiun
pada tahun 1529-1530. Surabaya dan Pasuruan dengan segera mengakui
kekuaasaan Demak. Demak menaklukkan Gunung Penanggungan pada tahun 1543,
13
yang menjadi tempat keramat bagi penganut agama Hindu saat itu .
Penyerangan ke Sunda Kelapa dipimpin oleh Fatahillah atas perintah Sultan
Trenggono kekuatan Demak semakin bertambah dengan bantuan dari kesultanan
Cirebon, pasukan ini terdiri dari pasukan darat dan laut, mereka berhasil
menaklukan Sunda Kelapa dari pasukan Pajajaran karena pasukan Pajajaran tidak
dibantu oleh portugis seperti yang dijanjikan sebelumnya. Atas keberhasilan
pasukan Fatahillah kerjasama antara Pajajaran dan Portugis untuk membangun
benteng di Sunda Kelapa terancam gagal. Selanjutnya pada tahun 1526 M enam
armada Portugis menuju ke Sunda Kelapa untuk menindaklanjuti perjanjian dengan
Pajajaran untuk membangun benteng di Sunda Kelapa. Setelah Portugis sampai di
tepi pelabuhan Sunda Kelapa, Portugis mengutus seorang utusan untuk menemui
penguasa Pajajaran, mereka tidak mengetahui bahwa Sunda Kelapa telah jatuh ke
tangan pasukan Islam Demak dibawah kepemimpinan Fatahillah. Akhirnya utusan
tersebut menemui Fatahillah untuk memenuhi janji sebagaimana perjanjiannya
dengan Pajajaran, Namun permintaan itu ditolak Fatahillah. Portugis marah dan
10 Umar, “ Pemikiran Politik Era Kenabian, Sahabat dan Sekte-Sekte Islam: Tinjauan Sketsa
Historisitas”, dalam Jurnal Mimbar, Vol. 1 No. 1 (Oktober-Mei 2016), hlm. 140.
11 Delia Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm. 42.
12 Yudi Armansyah, “Dinamika Perkembangan Islam Politik di Nusantara: dari Masa Tradisional Hingga
Indonesia Modern”, dalam Fokus: Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol. 2 No.1 (2017), hlm. 30.
13 Ivan Taniputera, Ensiklopedi Kerajaan-Kerajaan Nusantara..., hlm. 76
4

