Page 24 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 27 SEPTEMBER 2021
P. 24
KESATUAN PELAUT INDONESIA KRITISI UU PERLINDUNGAN PEKERJA MIGRAN
Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI) mengkritisi UU No:18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja
Migran Indonesia yang dinilai tidak secara jelas mengakomodir perlindungan bagi pelaut RI yang
bekerja di luar negeri.
“Kami rasakan UU tersebut belum menyentuh substansi dalam memberikan perlindungan bagi
Pelaut RI yang bekerja di luar negeri,” ujar President KPI, Prof.Dr.Mathias Tambing dalam
keterangannya, Sabtu (25/09).
Menurutnya, Pelaut merupakan salah satu pekerjaan yang memiliki tanggung jawab besar dan
berisiko tinggi seperti, kecelakaan kapal dan tenggelam. Untuk mencegah resiko, diperlukan
kualifikasi pekerja sebagai pelaut yang lebih ketat dan pemberian perlindungan hukum bagi
pelaut yang diatur secara komprehensif.
Mathias menyebut salah satu pasal di UU No:18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran
Indonesia, hanya disebutkan bahwa Pelaut yang bekerja di luar negeri merupakan pekerja
migran, tetapi tidak ada penjabaran lebih lanjut.
“Padahal Pelaut memiliki peran penting dan strategis sebagai penggerak kelancaran perpindahan
orang dan barang, menjamin komoditas di dunia berjalan dengan aman, lancar dan selamat
sampai tujuan,” ucap Mathias.
Mathias mengemukakan, akibat ketentuan Perundang-undangan nasional yang hingga kini
dinilainya belum seimbang dan menimbulkan ketidakpastian hukum, berdampak pada
perlindungan pelaut Indonesia masih rendah dan belum sesuai standar internasional.
“Hal ini dibuktikan dengan berbagai permasalahan yang telah dialami pelaut antara lain,
penipuan job fiktif, upah tidak dibayar, dokumen palsu hingga perbudakan diatas kapal,”
ungkapnya.
Berdasarkan data Kementerian Perhubungan (Kemenhub) total pelaut Indonesia berjumlah 1,2
juta orang per Februari 2021. Para pelaut ini bekerja di kapal perikanan maupun niaga. Bahkan,
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi memperkirakan potensi penerimaan
negara dari pelaut Indonesia di luar negeri mencapai sekitar Rp.151,2 triliun setiap tahun.
Mathias mengatakan, perlindungan terhadap hak-hak pelaut telah diatur dalam Maritime Labour
Convention (MLC) 2006. Namun, kata dia, pada umumnya permasalahan timbul ketika para pihak
terkait seperti perusahaan pemilik kapal, perusahaan asuransi, negara bendera, dan negara
pelabuhan, saling melempar tanggung jawab dalam penyelesaian kasus penelantaran pelaut.
“Oleh sebab itu, UU No:18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia perlu
diperkuat agar bisa mengakomodir perlindungan bagi Pelaut. Mari kita bedah bersama beleid itu
dan bila perlu di uji materi ke MK bagaimana efektifitasnya tentang UU tersebut,” papar Mathias.
Disisi lain, ujarnya, secara aturan internasional, yang berkaitan dengan aspek implementasi
instrumen IMO terkait keselamatan kapal, khususnya dalam hal persyaratan jumlah kru minimum
di kapal yang kerap menjadi perhatian dalam penyelesaian kasus penelantaran ABK.
“Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan praktis untuk implementasi MLC 2006 sehingga dapat
dicapai penyelesaian kasus penelantaran ABK yang efektif,” ucap Mathias.
23