Page 249 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 7 OKTOBER 2020
P. 249

publik baru tersedia setelah RUU tersebut rampung dirancang oleh pemerintah lalu diserahkan
              kepada DPR.
              Pukat UGM juga menyatakan, teknik omnibus law tidak dikenal dalam pembentukan peraturan
              perundang-undangan di Indonesia. Soalnya, hal itu mengakibatkan ketidakjelasan, apakah RUU
              Cipta Kerja merupakan penyusunan UU baru, UU perubahan, ataupun UU pencabutan? Selain
              itu, RUU Cipta Kerja bukan solusi atas problem regulasi yang ada di Indonesia.

              Banyaknya  pendelegasian  wewenang  yang  terdapat  di  dalam  RUU  Cipta  Kerja  tidak
              mencerminkan simplifikasi dan harmonisasi peraturan perundang-undang-an. Belakangan, kita
              tahu, RUU yang terdiri atas 15 bab (174 pasal) itu akan berdampak terhadap 1.203 pasal (di
              dalam 79 UU) yang terbagi ke dalam 7.197 daftar inventarisasi masalah.

              Selanjutnya,  secara  substansi,  RUU  Cipta  Kerja  mengarah  pada  sentralisasi  kekuasaan  yang
              rentan  terhadap  potensi  korupsi.  RUU  Cipta  Kerja  memberikan  kewenangan  besar  kepada
              pemerintah  pusat  sehingga  dapat  mengurangi  dinamika  desentralisasi  di  Indonesia.
              Bagaimanapun, sentralisasi yang berlebihan bakal sangat rentan terhadap potensi korupsi. Salah
              satunya karena pengawasan yang akan semakin minim. Dalam konteks ini, kita harus mengingat
              ungkapan  masyhur  dari  Lord  Acton:  Power  tends  to  corrupt  and  absolute  power  corrupts
              absolutely.

              Kita kembali ke proses legislasi. Minimnya partisipasi publik dalam perancangan RUU tersebut
              dapat ditafsirkan, pemerintah dan DPR memang tidak acuh kepada rakyat. Padahal, di dalam
              ranah sociological jurispnidence, pusat perkembangan hukum terletak pada masyarakat, bukan
              pada badan-badan legislatif, keputusan-keputusan badan yudikatif, ataupun ilmu hukum.

              Oleh karena itu, di dalam teori yang dikembangkan oleh Roscoe Pound (1870-1964) tersebut,
              hukum diartikan sebagai "pengalaman yang disusun dan dikembangkan dengan berbagai alasan,
              disebarluaskan  secara  otoritatif  oleh  badan  pembuat  undang-undang  atau  organ-organ
              pendeklarasian hukum di dalam masyarakat yang diorganisasikan secara politis, dan didukung
              penuh oleh kekuatan masyarakat tersebut".
              Untuk memahami pengalaman hukum masyarakat, lalu mendapat dukungan dari mereka, proses
              legislasi memiliki peranan penting. Dalam hal ini, kita dapat mencontoh langkah yang ditempuh
              Thomas Stamford Raffles sebelum menerbitkan Naskah Kitab Hukum (1814). Ia terlebih dahulu
              mengumpulkan  banyak  informasi,  baik  dari  para  pejabat  kolonial  maupun  pejabat-pejabat
              pribumi, lalu mengonsultasikannya. "Setelah menempuh beberapa perjalanan menyusuri pulau
              (Jawa), saya dapat mengumpulkan informasi yang sangat banyak; dan balasan sejumlah residen
              atas surat saya, membuat saya memiliki bahan, cukup memadai untuk meletakkan dasar-dasar
              sebuah peraturan umum mengenai masalah ini."

              DPR menyebutkan, RUU Cipta Kerja telah dibahas dalam 64 kali rapat, sejak April 2020. Akan
              tetapi, proses legislasi bukan perkara jumlah rapat, apalagi dengan orang yang "itu-itu saja".
              Proses legislasi merupakan upaya untuk merangkum, dan bila perlu mengakomodasi sebanyak
              mungkin  kepentingan  masyarakat.  Jadi,  ketika  banyak  kalangan  tetap  melancarkan  protes
              terhadap RUU Cipta Kerja, meski telah melalui 64 kali rapat, itu berarti proses legislasi belum
              maksimal.

              Belum lagi jika kita bicara soal rasa kemanusiaan. RUU tetap dibahas ketika pandemi sudah
              melanda negeri ini dan memberikan dampak negatif kepada sebagian besar rakyat. Tak elok
              rasanya  menimpakan  tangga  kepada  masyarakat  yang  sudah  terjatuh  dilan-tak  pandemi.
              Jangan-jangan,  RUU  itu  disahkan  sebagai  alat  pembenar  bagi  pengusaha  yang  terpaksa
              mengurangi karyawan, tetapi enggan mengeluarkan pesangon dalam jumlah besar. Pikiran liar
              ini mengemuka di media sosial.***


                                                           248
   244   245   246   247   248   249   250   251   252   253   254