Page 275 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 13 OKTOBER 2021
P. 275
Aparat sulit mengawasi kapal perikanan yang beroperasi di laut lepas mengingat wilayah operasi
mereka tidak termasuk dalam wilayah hukum negara mana pun. Kondisi itu mengakibatkan
situasi kerja di kapal perikanan laut lepas rawan pelanggaran hak asasi manusia.
Lolos dari
jerat hukum
Aparat di Kepri pernah mencoba menindak kapal perikanan China yang diduga melakukan
penyiksaan terhadap pekerja migran Indonesia. Pada 8 Juli 2020, TNI Angkatan Laut dan Polri
menangkap Kapal Lu Huang Yuan Yu 118 di perairan Pulau Nipah, Batam.
Di lemari pendingin Lu Huang Yuan Yu 118, aparat menemukan jenazah ABK asal Lampung,
Hasan Apriadi. Polisi kemudian menetapkan mandor kapal, Song Chuanyun (50), sebagai
tersangka dalam kasus tersebut. Warga negara China itu dituduh melakukan penganiayaan yang
mengakibatkan Hasan meninggal.
Menurut 12 pekerja migran Indonesia lain di Lu Huang Yuan Yu 118, Song sering memukul dan
menendang mereka di punggung, kepala, dan dada. Komisaris Besar Arie Dharmanto, yang saat
itu menjabat Direktur Reserse dan Kriminal Umum Polda Kepri, menyatakan, hasil otopsi
terhadap jenazah Hasan menunjukkan terdapat sejumlah luka memar di tubuhnya.
Meski demikian, Pengadilan Negeri Batam akhirnya membebaskan Song dari dakwaan
penganiayaan yang mengakibatkan kematian. Saksi ahli di persidangan menyatakan penyidikan
terhadap perkara itu tidak bisa dilakukan oleh Polda Kepri karena penyiksaan yang dilakukan
oleh Song terhadap Hasan terjadi di luar perairan wilayah Indonesia.
Di persidangan, penyiksaan yang dilakukan Song juga tidak terbukti secara signifikan
mengakibatkan Hasan meninggal. Dari hasil otopsi diketahui Hasan memiliki penyakit menahun
di paru dan jantung serta pembesaran kelenjar getah bening di bagian leher dan perut.
Selain membebaskan Song, Pengadilan Negeri Batam juga menjatuhkan hukuman yang rendah
kepada para agen penyalur yang menempatkan 13 warga negara Indonesia di Lu Huang Yuan
Yu 118. Mereka adalah Direktur PT Gigar Marine International Harsono, Direktur dan Komisaris
PT Makmur Jaya Mandiri Totok Subagyo dan Taufiq Alwi, serta Direktur PT Novarica Agatha
Mandiri Laila Kadir.
Empat terdakwa itu hanya dikenakan Undang Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang
Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Mereka hanya divonis penjara 1 tahun 4 bulan dan
denda sebesar Rp 100 juta. Bila denda itu tidak dibayar, diganti dengan kurungan 1 bulan.
Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia di Kementerian
Luar Negeri RI Judha Nugraha, Sabtu (18/9), mengatakan, penegakan hukum terhadap para
pelaku penyalur ABK yang bermasalah seharusnya dapat dilakukan secara lebih tegas.
Menurut dia, seharusnya para penyalur ABK bukan hanya dijerat dari sisi prosedural penempatan
dengan UU No 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, melainkan juga dengan
UU No 21/2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Dengan begitu hukuman
kepada mereka bisa lebih berat.
Koordinator DFW Indonesia Abdi Suhufan sepakat dengan pemberatan hukuman dengan
menggunakan UU TPPO. Pemerintah Indonesia juga seharusnya berinisiatif mendorong
pemerintah China untuk turut melindungi ABK migran dari Indonesia.
274