Page 104 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 6 OKTOBER 2021
P. 104
Terkait hal tersebut, Komisi IX DPR RI menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama
dengan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), BPJS Ketenagakerjaan (BPJamsostek) dan
perwakilan Serikat Pekerja/Buruh guna membahas terkait pengawasan klaim Jaminan Hari Tua
(JHT), Jaminan Pensiun (JP) dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) terhadap pekerja atau
buruh yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di masa pandemi COVID-19.
Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI & Jamsos) Kemnaker Indah
Anggoro Putri menyampaikan pihaknya mendapati adanya pergeseran filosofi dari program JHT
yang seharusnya dinikmati ketika memasuki hari tua atau masa pensiun, namun banyak pekerja
yang justru mencairkan saldo JHT setelah PHK.
Hal tersebut, kata Indah, didasari Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 dan Peraturan
Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 19 Tahun 2015 yang memungkinkan bagi para
pekerja untuk melakukan klaim JHT satu bulan setelah mengalami PHK. Indah mengungkapkan
saat ini Kemnaker tengah merevisi Permenaker tersebut untuk mengembalikan agar JHT dapat
difungsikan sesuai tujuan awalnya.
"Kami merevisi Permenaker nomor 19 tersebut, kita kembalikan kepada filosofi JHT yaitu benar-
benar sebagai tabungan di masa tua sebagai amanat yang tertera dalam Undang-Undang nomor
40 tahun 2004 dan juga Peraturan Pemerintah (PP) nomor 46 tahun 2015," terang Indah.
Direktur Pelayanan BPJamsostek Roswita Nilakurnia menambahkan klaim JHT mengalami
kenaikan jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hingga Agustus 2021, tercatat 1,49 juta
kasus JHT dengan penyebab klaim didominasi oleh pengunduran diri dan PHK. Selain itu
mayoritas nominal saldo JHT yang diklaim adalah dibawah Rp 10 juta dan rentang umur peserta
paling banyak di bawah 30 tahun yang merupakan usia produktif bekerja.
Sementara itu, Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (K-SPSI) Hermanto
Achmad menuturkan proses pencairan JHT yang sangat mudah membuat banyak pekerja yang
menggunakan modus seolah-olah PHK untuk dapat melakukan klaim. Menurutnya hal ini
cenderung tidak sesuai dengan filosofi jaminan sosial yang sejak awal menjadi harapan bagi
seluruh pekerja Indonesia untuk memiliki hari tua yang terjamin.
Dalam kesempatan yang sama Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI)
Elly Rosita Silaban menambahkan agar mekanisme pencairan JHT dikembalikan ke konsep UU
nomor 24 tahun 2011 seperti praktik yang berlaku internasional berupa old saving.
"Dana yang disimpan di BPJS Ketenagakerjaan itu sebenarnya adalah dana ketahanan untuk
pembangunan ekonomi. Ketika Jaminan Hari Tua diubah maknanya menjadi jaminan hari terjepit
karena bisa diambil setelah dipecat, memang menjadi hilang filosofinya. Apakah dikembalikan
(aturannya) ke undang-undang sebelumnya, itu mungkin juga masih perlu diskusi untuk lebih
lanjut," papar Elly.
Elly juga menitikberatkan pada manfaat program Jaminan Pensiun (JP) yang masih sangat kecil
yaitu Rp 300 ribu hingga Rp3,6 juta per bulan. Dirinya pun menyayangkan sejak program
tersebut dijalankan sejak tahun 2015 hingga saat ini, belum dilakukan peninjauan kembali terkait
besaran iurannya. Ia berharap peninjauan dapat dilakukan setiap 3 tahun sekali sesuai ketentuan
agar manfaat yang diterima peserta maksimal.
103