Page 200 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 16 JULI 2020
P. 200
pendeta dan rohaniwan/rohaniwati dari berbagai gereja di Indonesia mengeluarkan pernyataan
sikap terkait pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang mendapat penolakan dari
kelompok buruh, petani, masyarakat adat, akademisi, aktivis NGO, pemuka agama dan
sebagainya.
RATUSAN PENDETA DUKUNG DEMO TOLAK OMNIBUS LAW & SAHKAN RUU
PKS
Sekitar 104 pendeta dari berbagai gereja di Indonesia akan menggelar demonstrasi menuntut
pemerintah dan DPR menghentikan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja.
Sekitar 104 pendeta dan rohaniwan/rohaniwati dari berbagai gereja di Indonesia mengeluarkan
pernyataan sikap terkait pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang mendapat penolakan
dari kelompok buruh, petani, masyarakat adat, akademisi, aktivis NGO, pemuka agama dan
sebagainya.
Perwakilan ratusan pendeta itu, Adventus Nadapdap, juga mengatakan hal serupa. Mereka
menilai Omnibus Law RUU Cipta Kerja memberikan dampak buruk kepada masyarakat,
khususnya mereka yang memiliki latar belakang ekonomi sosial seperti buruh, petani, nelayan,
kaum miskin kota, dan masyarakat adat, serta mengancam keberlanjutan lingkungan hidup.
"Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini lebih mementingkan kepentingan korporasi daripada
kepentingan rakyat dan keselamatan lingkungan hidup, yaitu atas nama investasi," kata
Adventus lewat keterangan tertulisnya yang diterima wartawan Tirto, Rabu (15/7/2020) pagi.
Mereka menilai pemerintah dan DPR sepertinya tidak menghiraukan tuntutan dari kelompok-
kelompok masyarakat agar menghentikan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja tersebut.
Sistem politik demokratis yang dianut oleh negara Indonesia, membikin pembahasan undang-
undang atau kebijakan politik harus melibatkan partisipasi publik seadil dan setara mungkin.
Kata Adventus, dunia dan masyarakat Indonesia saat ini sedang menghadapi pandemi COVID-
19. Oleh karena itu, partisipasi publik tidak akan mungkin bisa berjalan maksimal.
"Padahal, pemerintah sendiri yang mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial sebagai langkah
dan upaya memutus mata rantai penularan COVID-19," katanya.
Ia menilai pemerintah terlihat sangat memanfaatkan momentum pandemi untuk melakukan
tindakan politis tanpa partisipasi publik. Salah satunya, pada 12 Mei 2020, DPR bersama
pemerintah telah menyetujui Revisi Undang Undang (RUU) Minerba menjadi Undang-Undang.
"Padahal, RUU Minerba itu merugikan masyarakat dan mengancam kelestarian lingkungan dan
ekosistem di sekitarnya. RUU Minerba tersebut awalnya merupakan inisiatif DPR periode 2014-
2019 yang kemudian dilanjutkan oleh DPR periode 2019-2024," kata Adventus.
Hal serupa juga terjadi pada tanggal 2 Juli 2020, DPR menghapus Rancangan Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
Prioritas 2020 dengan alasan "masih menuai polemik".
"Jika DPR memiliki kehendak politik yang mengayomi warga negara, seharusnya RUU PKS
disahkan sebagai payung hukum bagi mereka [korban] yang mengalami tindak kekerasan
seksual dan sebagai upaya mencegah terjadinya kekerasan seksual. Membahas dan
mengesahkan RUU yang menguntungkan korporasi mudah, tapi membahas dan mengesahkan
199

