Page 201 - Berita Omnibus Law Cipta Kerja 17-18 Februari 2020
P. 201
Ida bahkan mengaku memberi waktu kepada serikat pekerja dan buruh yang masih menolak sejumlah
pasal di Omnibus Law Cipta Kerja. Ia pun memaklumi bahwa ada miskomunikasi antara pihak pekerja
dan pemerintah terkait sejumlah pasal kontroversi. Menurutnya, yang terpenting adalah menjaga
komunikasi antara tiga pihak, pemerintah, pengusaha, dan pekerja, terus berjalan dalam pembahasan
omnibus law ini.
"Kalau ada yang menolak, kami tunggu sampai bisa bergabung lagi. Sampai hari apa, memang ada satu
yang menolak. Namun kami harap teman-teman buruh masuk. Pikiran dan gagasan bisa didalogkan di
dalam," katanya.
Sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai bahwa RUU Omnibus Law Cipta
Kerja akan merugikan para kelas pekerja. Maka dari itu, mereka meminta DPR untuk mengkritisi
bahkan membatalkan RUU tersebut.
"Khususnya klaster ketenagakerjaan dan semua yang berhubungan dengan ketenagakerjaan," ujar
Presiden KSPI Said Iqbal saat dikonfirmasi, Senin (17/2).
Sebelumnya, Said menjelaskan, draf salinan resmi RUU Cipta Kerja menghapus upah minimum
kabupaten dan kota serta menggunakan upah minimun provinsi. Padahal, seluruh daerah, kecuali DKI
Jakarta dan Yogyakarta, mengacu kepada upah minimum kabupaten kabupaten kota. Upah minimun
provinsi tidak dipakai dan angka acuannya juga jauh lebih kecil.
RUU Cipta Kerja juga mengenal istilah upah per satuan waktu atau upah per jam. Dibayarnya pekerja
berdasarkan jam kerja maka secara nyata menghilangkan upah minimum per bulan yang selama ini
digunakan.
KSPI kemudian menyoroti hilangnya pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan. Dalam UU itu, diatur tentang sanksi bagi pengusaha yang tidak membayar
upah sesuai upah minimum.