Page 203 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 21 JULI 2020
P. 203

Direktur LBH Surabaya Wachid Habibullah mengatakan aturan itu memberatkan para pekerja,
              terutama buruh berpenghasilan rendah, meski bertujuan untuk mencegah terjadinya penularan
              Covid-19 di Surabaya.

              "Meskipun tujuannya untuk melakukan  screening  belum tentu dikatakan aman dari Covid-19
              namun hal tersebut dirasa berat bagi buruh dan masyarakat," kata dia, Senin (20/7).

              Belum lagi dalam aturan itu Pemkot Surabaya membatasi bahwa hasil rapid test tersebut hanya
              memiliki jangka waktu atau durasi selama 14 hari. Artinya, pekerja harus melakukan tes ulang
              secara berkala.

              "Mahalnya  biaya  rapid  test  secara  mandiri,  dan  hanya  berdurasi  14  hari,  akan  membuat
              masyarakat terutama bagi kalangan pekerja yang masuk ke Kota Surabaya harus melakukan
              rapid  test  secara  berulang  karena  terhambat  masa  berlaku  hasil  rapid  test  yang  terbatas,"
              ujarnya.

              Padahal, kata dia, rapid test disebut tak sepenuhnya akurat untuk melakukan  screening  . Ia
              khawatir  kebijakan  ini  justru  akan  dimanfaatkan  pihak  yang  tak  bertanggung  jawab,  untuk
              meraup keuntungan.

              Foto: CNNIndonesia/Basith Subastian  "Tidak hanya masa hasil rapid test yang terbatas namun
              kualitas dari hasil rapid test tersebut tidak akurat," terangnya.

              "Hak atas informasi masyarakat terlanggar karena adanya kesimpangsiuran mengenai harga
              yang diterapkan untuk melakukan rapid test, beberapa oknum memanfatkan keadaan untuk
              menyelengarakan rapid test dengan harga yang tidak wajar," dia menambahkan.

              Senada,  Paguyuban  Rakyat  Indonesia  Melawan  Pandemi  Covid-19  meminta  pemerintah
              menghentikan pengunaan rapid test sebagai diagnosis ataupun syarat perjalanan warga karena
              tak akurat dan hanya lahan bisnis.
              Paguyuban ini merupakan koalisi sejumlah LSM, seperti ICW, Amnesty, KontraS, serta individu,
              seperti epidemiolog Pandu Riono.

              "Pemerintah juga harus meghentikan kebijakan keliru penggunaan rapid test untuk diagnosis
              dan  sebagai  syarat  administratif  perjalanan  dan  masuk  kerja  dan/atau  prosedur,"  menurut
              Paguyuban, dalam siaran persnya.

              Koalisi pun lebih menyarankan peningkatan tes polymerase chain reaction (PCR), yang lebih
              akurat dalam melacak Covid-19.

              "Pemerintah harus meningkatkan kapasitas tes PCR melebihi anjuran rasio minimum 1/1000
              penduduk setiap minggu (atau sekitar 40,000 tes per hari), menjadi 300.000 per hari," kata
              pernyataan itu.

              Alih-alih  menggratiskan tes  massal  Covid-19 dan  memperbanyak  fasilitas  sosial  dan  fasilitas
              umum untuk mencegah Covid-19, Paguyuban menilai "Pemerintah Indonesia tidak benar-benar
              mengupayakan pemenuhan hak atas kesehatan warga".
              "Yang  terjadi  di  lapangan  justru  menunjukkan  uji  tes  COVID-19  (khususnya  Rapid  Test
              misalnya) cenderung dikomersilkan dan mahal untuk diakses warga," menurut pernyataan itu.

              (frd/arh).




                                                           202
   198   199   200   201   202   203   204   205   206   207   208