Page 29 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 29 JUNI 2020
P. 29
Namun demikian, keberadaan Omnibus Law seperti RUU Cipta Kerja, selama ini dinilai memiliki
permasalahan prosedural dan substantif. Banyak pemangku kepentingan yang menilai bahwa
proses pembentukan RUU Cipta Kerja telah melanggar asas keterbukaan yang diatur dalam
Pasal 88 Undang-undang Nomor - Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan yang mengharuskan adanya kesempatan bagi partisipasi publik sebesar-besarnya
dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Partisipasi publik tersebut dimungkinkan pada tahap penyusunan naskah akademik dan
formulasi peraturan yang bersangkutan, di mana pendapat masyarakat haruslah ditampung
semaksimal mungkin. Sementara itu, proses pembentukan RUU Cipta Kerja yang dipimpin oleh
Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Rosan Roeslani, dinilai tidak mengedepankan
prinsip keterbukaan dan tidak menyeimbangkan kepenting-an-kepentingan yang ada dalam
masyarakat.
Secara substantif, isi dari RUU Cipta Kerja pun banyak dinilai bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan lain yang berlaku, misalnya norma-norma yang terkandung dalam Undang
-undang Pokok Agraria, Undang -undang Ketenagakerjaan, dan bahkan Undang-undang Dasar
Republik Indonesia (UUD 1945) yang menjadi konstitusi negara. Ketidakselarasan tersebut
memungkinkan peluang terjadinya klaim untuk uji material di Mahkamah Konstitusi di masa
depan.
Oleh karena itu, pengawasan terhadap Omnibus Law sebagai 'kendaraan' yang dapat
mewujudkan suatu sistem pengaturan komprehensif perlu dilakukan secara serius dan
konsisten. Efektifitas Omnibus Law yang dapat memperlancar 'transposisi' atau perwujudan
komitmen internasional Indonesia menurut perjanjian kerja sama ekonomi internasional ke
dalam sistem hukum nasional perlu dikaji secara berkala.
Sangatlah mungkin bahwa Omnibus Law pada akhirnya bukan merupakan solusi yang tepat
untuk memperlancar kegiatan investasi dikarenakan kendala-kendala prosedur, politik, dan
bahkan konstitusional
yang ada. Dalam hal demikian, pemerintah harus meramu solusi lain, misalnya melakukan
amandemen terhadap peraturan pelaksana yang ada atau bahkan mencanangkan undang-
undang payung atau utnbrella law pada sektor individual yang dinilai krusial dalam
meningkatkan laju investasi dan perekonomian.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dunia internasional tentu memiliki pertanyaan besar mengenai
implementasi dan keberlangsungan Omnibus Law di Indonesia, di tengah maraknya polemik
yang ada dan proses pembentukan yang masih berjalan, serta pengaruh Omnibus Law terhadap
proses finalisasi perjanjian internasional yang sedang dan akan berlangsung.
Tentunya, implementasi RUU Cipta Kerja merupakan sebuah prototype yang dapat memberikan
gambaran jelas efektifitas Omnibus Law dalam mencapai tujuan yang salah satunya adalah
mempermudah investasi guna meningkatkan perekonomian. Pemerintah harus serius dalam
mengidentifikasi, mengkaji, dan menangani permasalahan prosedural dan substantif yang ada,
sehingga Omnibus Law dapat menjadi sebuah perangkat efektif yang dapat memajukan
perekonomian Indonesia dan kesejahteraan masyarakatnya.
* Dosen Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan
28