Page 18 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 4 JANUARI 2020
P. 18
Lewat pernyataan tertulis, Kemenlu menjelaskan, para ABK yang dipulangkan itu sudah terjebak
selama berbulan-bulan di Laut Arab karena kapal mereka dilarang berlabuh di sejumlah negara
sejak Covid-19 melanda. Repatriasi ini adalah kerja sama yang kedua antara Pemerintah
Indonesia dan China. Pada 10 November, 157 ABK (dua meninggal) dari 12 kapal ikan
berbendera China direpatriasi lewat Bitung, Sulawesi Utara.
Tumpukan kasus
Berita kematian WNI yang bekerja di kapal perikanan berbendera China semakin akrab di telinga
warga Kepri. Enam bulan terakhir, kepolisian di provinsi kepulauan ini sudah mengungkap tiga
kasus dugaan perdagangan orang di sektor kelautan dan perikanan itu.
Pada 5 Juni, dua WNI melompat dari Kapal Lu Qing Yuan Yu 901 di perairan Kabupaten Karimun,
yang menjadi perbatasan antara Indonesia dan Singapura. Keduanya adalah Adri Juniasyah (30)
asal Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, dan Reynalfi Si-anturi (22) asal Pematang Siantar,
Sumatera Utara. Mereka berdua mengaku ditipu dan dipaksa bekerja di kapal ikan berbendera
China. Belasan tersangka ditangkap dalam kasus yang sekarang ditangani Polda Kepri, Polda
Metro Jaya, dan Polda Jawa Tengah itu.
Satu bulan berselang, tepatnya pada 8 Juli, TNI Angkatan Laut dan Polri menangkap dua kapal
ikan berbendera China, Lu Huang Yuan Yu 117 dan 118, di perairan Pulau Nipah, Batam. Saat
diperiksa, aparat menemukan jenazah WNI bernama Hasan Afriadi di lemari pendingin Kapal
118. Mandor Kapal 118, Song Chuanyun (50), warga negara China, ditetapkan polisi sebagai
tersangka penganiayaan yang menyebabkan Hasan meninggal.
Terakhir, pada 14 Agustus, polisi menangkap Direktur PT Surya Mitra Bahari, Joni (39), karena
ia memulangkan tiga jenazah WNI secara diam-diam dari Kapal Fu Yuan Yu 829 di perairan
perbatasan Batam dan Singapura. Jenazah yang diturunkan dari kapal ikan berbendera China itu
diidentifikasi sebagai Syaban (22) dan Musnan (26) asal Bireuen, Aceh. Seorang lagi adalah Dicky
Arya Nugraha (23) asal Donggala, Sulawesi Tengah.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohammad Abdi Suhufan
mengatakan, tumpang-tindih izin perekrutan dan penempatan pekerja pelaut migran di
Kementerian Perhubungan dan Kementerian Ketenagakerjaan menyebabkan pengawasan
menjadi lemah. Banyak perusahaan tidak memiliki izin, tetapi masih bisa leluasa beroperasi.
Pada 4 Desember lalu, DFW mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo yang isinya mendesak
pemerintah segera mengesahkan rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang perlindungan
pekerja migran di sektor kelautan. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan
Pekerja Migran Indonesia mengamanatkan RPP itu selesai paling lambat dua tahun sejak UU
Nomor 18/2017 disahkan.
"Kami meminta Presiden segera menyelesaikan pembahasan RPP yang berlarut-larut pada level
teknis di kementerian. RPP itu sangat penting untuk menjamin perlindungan awak kapal
perikanan Indonesia di kapal asing," kata Abdi.
Pendataan pelaut
Menurut dia, pemerintah juga harus melakukan pendataan terhadap pelaut Indonesia di kapal
asing. Selama ini, pemerintah masih kesulitan mengetahui secara pasti jumlah awak kapal ikan
Indonesia di kapal asing karena banyak di antara mereka yang berangkat lewat jalur ilegal.
Tanpa data yang akurat, negara tidak bisa memberikan perlindungan yang maksimal.
Laporan Fishers Center, yang dikelola DFW Indonesia, menunjukkan, pada November 2019-
Oktober 2020 ada 40 laporan dugaan kerja paksa dan perdagangan orang di kapal ikan
berbendera China yang menyebabkan sekitar 100 WNI sakit, meninggal, atau hilang. Data itu
17