Page 175 - E-KLIPING KETENAGAKERJAAN 2 SEPTEMBER 2021
P. 175
layaknya akrobat yang sama sekali tidak menghibur. Sebaliknya, menyiram air garam pada luka
buruh.
Dengan dalih untuk mencegah PHK, upah buruh diperbolehkan 'disesuaikan' (baca: dikurangi).
Bolehlah dibilang, "Yang penting kerja, kesejahteraan urusan nanti". Ironisnya, dalam huruf C
tentang Langkah-langkah Pencegahan Pemutusan Hubungan Kerja, nomor 2, huruf f, dikatakan
Perusahaan bisa tidak memperpanjang jangka waktu terhadap perjanjian kerja waktu tertentu
yang sudah habis jangka waktunya, yang dilakukan secara selektif.
Kalimat tersebut sungguh kontradiktif dengan tujuan untuk mencegah PHK. Tidak
memperpanjang PKWT kaum buruh sama saja maknanya dengan mem PHK buruh kontrak.
Sementara, di lapangan buruh bisa berstatus kerja kontrak meski telah bekerja belasan tahun.
Dalam pasal ini juga tidak disebutkan dengan rinci apa yang dimaksud dengan selektif.
Beberapa waktu lalu, pada Juli 2021, kita tentu ingat dengan disidaknya perusahaan garmen di
KBN Cakung yang bernama PT Tainan. Perusahaan tersebut disidak karena masih
mempekerjakan buruhnya selama PPKM. Diketahui, PT Tainan mempekerjakan buruh secara
shift, yaitu shift pagi dan malam. Buruh yang kebetulan sedang bekerja di shift pagi pun
dipulangkan saat itu juga, dan mereka yang bergiliran bekerja di shift malam urung berangkat
ke perusahaan.
Esoknya, PT Tainan meliburkan perusahaannya hingga selama satu minggu lamanya. Buruh pun
kembali mengencangkan ikat pinggang, mengurangi nutrisi asupan keluarga hingga berutang ke
rentenir karena upah tidak dibayarkan selama satu minggu. Marni misalnya, yang harusnya
bekerja di shift malam, terpaksa harus banting tulang dengan berdagang apa saja untuk
menutup kebutuhan keluarga.
Pasalnya, ia harus mengirim uang kepada anaknya di kampung yang baru masuk kuliah dengan
jalur beasiswa. Meski memperoleh beasiswa, biaya hidup selama kuliah tidak bisa dibilang
murah. Upah satu minggu yang tidak dibayar itu mungkin tidak pernah dirasakan oleh Ibu
Menteri Ketenagakerjaan, anggota dewan yang terhormat, jajaran kabinet Presiden Jokowi
maupun para pejabat negeri ini.
Sensasi lapar, pupusnya harapan, ketakutan akan masa depan mungkin satu-satunya "privilese"
yang tersisa bagi kaum buruh dan keluarganya.
Marni dan kaum buruh lainnya tentu kecewa karena pascasidak yang berbuntut penutupan
sementara perusahaan tersebut tidak mendapatkan perlindungan jaminan upah tetap
dibayarkan, yang diperbolehkan adalah upah boleh disesuaikan. Realitanya upah bisa tidak
dibayarkan saat diliburkan.
Dalam Kepmen 104/2021, perusahaan diperbolehkan mengubah sistem kerja, dimulai dengan
memberlakukan kerja shift, merumahkan pekerja, namun di saat bersamaan boleh
menyesuaikan upah. Sebagai pemanis, dikatakan, hanya perusahaan yang tidak mampu secara
finansial boleh menyesuaikan upah.
Tentu saja tanpa diurai proses pembuktian secara keuangan yang transparan, bahwa
perusahaan benar-benar tidak mampu. Cukup dengan ucapan lisan tidak mampu, tak sedikit
perusahaan yang tidak membayarkan upah buruh saat meliburkan perusahaan, mengurangi
upah saat mengurangi jam kerja, maupun mencicil upah.
Penegasan terkait poin terakhir pembayaran upah bertahap atau mencicil dinyatakan dengan
tegas dalam huruf B, tentang Pelaksanaan Upah dan Hak-Hak Pekerja/Buruh Lainnya, nomor 4
yang berbunyi, "Kesepakatan penyesuaian upah dibuat secara tertulis dan memuat: (a) besaran
174