Page 26 - Analisis dan Evaluasi Undang-Undang ITE
P. 26
mendelegasikan sesuatu yang belum diatur. Suatu peraturan yang secara hierarki
lebih rendah merupakan derivasi atau turunan dari peraturan yang secara hierarki
lebih tinggi dan hanya mengatur teknis operasional materi peraturan yang ada di
atasnya, sedangkan dalam kasus a quo, belum ada ketentuan yang mengatur
syarat-syarat dan tata cara penyadapan yang diatur dalam Pasal 31 ayat (3) UU a
quo.
Menimbang bahwa sejalan dengan penilaian hukum di atas,
Mahkamah dalam Putusan Nomor 006/PUU-I/2003, bertanggal 30 Maret 2004
mempertimbangkan, “Hak privasi bukanlah bagian dari hak-hak yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), sehingga negara
dapat melakukan pembatasan terhadap pelaksanaan hak-hak tersebut dengan
menggunakan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia”. Lebih lanjut Mahkamah
mempertimbangkan pula, “Untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan
kewenangan untuk penyadapan dan perekaman Mahkamah Konstitusi
berpendapat perlu ditetapkan perangkat peraturan yang mengatur syarat dan
tata cara penyadapan dan perekaman dimaksud”. Berkaitan dengan pengaturan
penyadapan, melalui Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, bertanggal 19
Desember 2006, Mahkamah menegaskan dan mengingatkan kembali
pertimbangan hukum Putusan Nomor 006/PUU-I/2003, bertanggal 30 Maret
2004 yang menyatakan bahwa pembatasan melalui penyadapan harus diatur
dengan Undang-Undang guna menghindari penyalahgunaan wewenang yang
melanggar hak asasi. Dalam pertimbangan hukum putusan a quo, dinyatakan
bahwa:
“Mahkamah memandang perlu untuk mengingatkan kembali bunyi
pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 006/PUU-
I/2003 tersebut oleh karena penyadapan dan perekaman
pembicaraan merupakan pembatasan terhadap hak-hak asasi
manusia, di mana pembatasan demikian hanya dapat dilakukan
dengan undang-undang, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28J ayat
(2) UUD 1945. Undang-undang dimaksud itulah yang selanjutnya
harus merumuskan, antara lain, siapa yang berwenang mengeluarkan
perintah penyadapan dan perekaman dapat dikeluarkan setelah
diperoleh bukti permulaan yang cukup, yang berarti bahwa
penyadapan dan perekaman pembicaraan itu untuk
menyempurnakan alat bukti, ataukan justru penyadapan dan
26