Page 29 - Analisis dan Evaluasi Undang-Undang ITE
P. 29

pengadilan, yaitu penyadapan atas komunikasi dalam keadaan mendesak yang

                           membahayakan  keselamatan  jiwa  orang  lain,  aktivitas  konspirasi  yang
                           mengancam  keamanan  nasional  dan  karakteristik  aktivitas  konspirasi  dari

                           organisasi kejahatan.

                                  Penyadapan  harus  dilakukan  dengan  sangat  hati-hati  agar  hak  privasi
                           warga  negara  yang  dijamin  dalam  UUD  Tahun  1945  tidak  dilanggar.  Jika

                           diperlukan,  penyadapan  harus  dilakukan  dengan  izin  pengadilan  agar  ada

                           lembaga yang mengontrol dan mengawasi sehingga penyadapan tidak dilakukan
                           sewenang-  wenang.  Oleh  karena  penyadapan  di  Indonesia  pengaturannya

                           tersebar dalam berbagai Undang-Undang, namun belum diatur mengenai hukum
                           acaranya.  Sehingga  menurut  MK,  untuk  melengkapi  kuranglengkapnya  hukum

                           acara  tentang  penyadapan  maka  MK  perlu  memberi  tafsir  terhadap  frasa

                           “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” yang termuat dalam Pasal 5
                           ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE.

                                  MK  menegaskan  kembali  pertimbangan  Putusan  MK  Nomor  006/PUU-

                           I/2003,  bertanggal  30  Maret  2004  yang  kemudian  ditegaskan  kembali  dalam
                           Putusan  Nomor  5/PUU-VIII/2010,  bertanggal  24  Februari  2011  tentang

                           penyadapan yang menyatakan:

                           “Mahkamah memandang perlu untuk mengingatkan kembali bunyi pertimbangan
                           hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 006/PUU-I/2003 tersebut oleh karena

                           penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan terhadap hak-

                           hak asasi manusia, dimana pembatasan demikian hanya dapat dilakukan dengan
                           undang-undang,  sebagaimana  ditentukan  oleh  Pasal  28J  ayat  (2)  UUD  1945.

                           Undang-Undang  dimaksud  itulah  yang  selanjutnya  harus  merumuskan,  antara

                           lain, siapa yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan dan perekaman
                           dapat dikeluarkan setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup, yang berarti

                           bahwa  penyadapan  dan  perekaman  pembicaraan  itu  untuk  menyempurnakan
                           alat bukti, atau justru penyadapan dan perekaman pembicaraan itu sudah dapat

                           dilakukan untuk mencari bukti permulaan yang cukup. Sesuai dengan perintah

                           Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, semua itu harus diatur dengan undang-undang guna
                           menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak asasi”.

                                  Dari pertimbangan putusan MK tersebut, sampai saat ini belum terdapat


                                                                                                        29
   24   25   26   27   28   29   30   31   32   33   34